Entah belasan atau puluhan kali aku memusuhi cara kerja demokrasi melalui tulisan-tulisan. Berlagak bagai pria tampan Plato, filosof aristokrat yang berkali-kali terlibat dalam percobaan menyeret demokrasi keluar melewati tapal batas Athena. Membiarkan bangsa apapun memungutnya, agar seolah-olah mereka punya peradaban dari sekadar tirani bahkan barbar. Plato sudah meramalkan demokrasi akan mengidap cacat bawaan.
Plato hidup dua tahun setelah Kaisar Pericles padam. Barangkali ia terobsesi pada Pericles yang berhasil menyepuh Athena menjadi keemasan, yang tampil ke pucuk kekuasaan tidak dengan jalan elektoral yang gaduh bagai kita. Itu yang aku maksud, tapi tunggu dulu, tidak akan sesederhana itu.
Athena adalah keajaiban. Manusia-manusia genius berkumpul pada satu kepingan puzzle sejarah yang singkat, mungil, lagi padat. Maka upaya penemuan para Aristos, manusia-manusia unggul atau super yang bisa mengatur negara dengan hebat, tanpa keterlibatan seluruh bangsa yang terengah-engah dalam upaya penemuan diri mereka sendiri sebagai rakyat demokratik, akan lebih logis kelihatannya.
Bicara logika, Aristoteles adalah bapaknya. Idealisme Plato yang rigid tak mungkin jalan sehingga ia mengelaborasi demokrasi dan monarki. Kerja kawin silang ini kemudian menghasilkan simposium akal budi yang elegan dan efektif. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa Trio Socrates, Plato, dan Aristoteles tidak sepakat dengan demokrasi yang kita puja hari ini.
Mungkin karena mereka membaca corak buruk demokrasi elektoral yang dilangsungkan di Apella oleh para Spartan pada 700 SM. Berandai, Tony Stark alias Iron Man dan Hulk atau DR Brush Banner dari kabinet Avengers meminjamkan mesin waktu kepada Aristoteles untuk meninjau pesta demokrasi di Indonesia, ia akan tampak kepayahan mencari perbedaan antara Sparta kuno dengan Indonesia modern.
Filsafat klasik Platonik menolak demokrasi, filsafat pertengahan khususnya Aristotelian menawarkan jalan tengah, filsafat ultra modern bahkan mungkin tak menginginkan adanya pengatur yang lemah (baca: negara). Athena pernah menjalankan demokrasi sebelum filsafat mekar. Di bawah komando Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM.
Cleisthenes memang disebut sebagai Bapak Demokrasi Athena, tapi bila bangsa Yunani bernostalgia di sepanjang zaman kuno, hati mereka akan tertambat pada Pericles, seperti orang Hangzhou memuja Gubernur Su Tungpo selama ribuan tahun. Kedua-duanya jelas tidak dipilih melalui elektoral yang menyimpan titik lemah, apalagi membiarkan orang yang baru sembuh dari penyakit gila ikut memilih.
Pericles gagal mempertahankan zaman keemasan Athena bukan karena dia salah pilih, tapi akibat kesombongan intelektual warga negaranya serta menganggap remeh kekuatan militer Sparta, Persia, Thebes hingga Macedonia, kampung asal Aristoteles. Demikian pula Su Tungpo, pemimpin genius Hangzhou kuno yang memilih membayar upeti kepada musuh negara ketimbang memperkuat pertahanan militernya.
Sekarang begini saja, percuma berdebat tentang demokrasi karena kita sudah mengatup rapat alternatif lain atau terlalu tergoda dengan pragmatisme Amerika. Entahlah, yang pasti demokrasi kita terbaca sebagai ritus kebisingan periodik berbiaya mahal.
Mode ini tetap dipertahankan berdasarkan fobia kepada sejarah hegemoni diktatorial. Sepanjang kita belum menemukan cara aman lainnya, demokrasi akan kita pertahankan sebatas ritual kebangsaan, setingkat menyelupkan kemenyan pada pembakaran dupa.