Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Kita Lebih Hebat atau Lebih Lemah Dibanding Ilmuan Klasik?

25 Maret 2019   10:14 Diperbarui: 25 Maret 2019   10:40 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: bebrainfit.com

Betapa lebarnya kartu nama para ilmuan klasik jika semua profesinya ditulis sekaligus seperti ini: matematikawan, astronom, meteorologiwan, geolog, ahli ilmu hewan, ahli botani, farmakolog, agronom, arkeolog, etnograf, ahli kartografi, penyusun ensiklopedia, diplomat, insinyur herdraulika, penemu, rektor universitas, menteri keuangan, dll.

Mereka benar adanya. Pemilik kartu nama itu adalah Shen Kuo, seorang genius abad ke - 11 dengan temuannya antara lain kompas magnetik dan fosil. Itu baru pekerjaan resmi, di samping perkara lainnya yang ia tekuni dengan suka ria seperti menulis puisi dan menggubah musik.

Shen adalah Leonardo da Vinci-nya Cina. Seperti Leonardo, dia merekam ide - idenya dalam sebuah buku catatan, pernah hilang berabad - abad dan ditemukan belakangan ini. Sebagaimana ilmuan - ilmuan Barat yang menaruh minat amat banyak pada segala bidang, ilmuan - ilmuan Muslim hampir mudah ditemukan secara acak adalah seorang generalis, multi talenta.

Ilmuan Muslim lah yang terlebih dahulu membuka pintu gerbang itu, mereka memperkenalkan kesaktian trio Socrates, Plato, Aristoles - ketiganya memiliki "kartu nama" terpanjang pada masanya - ketika Eropa masih tidur panjang.

Sejarah telah membuktikan betapa jazirah Arab dan sekitarnya telah melahirkan banyak sarjana dan ilmuwan hebat dalam bidang falsafah, sains, politik, kesusasteraan, kemasyarakatan, agama, pengobatan, dan sebagainya mendahului Renaisans di Eropa Barat. Bukan seorang mengambil satu spesialisasi, tapi hampir semua diborong dengan cemerlang oleh orang per orang.

Di antaranya adalah Al-Farabi yang dikenal sebagai: fisikawan, kimiawan, filosof, ahli ilmu logika, ilmu jiwa, metafisika, politik, musik, dan masih banyak lagi yang dilakoni secara serentak. Filosof muslim terkemuka lainnya adalah Ibnu al-Haitham, biarpun ia lebih dikenal dalam bidang sains dan medis, tetapi juga ahli dalam bidang agama, falsafah, dan astronomi.

Indonesia sedikitnya memiliki Umar Kayam, merupakan sosok serba bisa yang pernah hidup dan berkarya di republik ini. Ia berprofesi sebagai dosen, ilmuwan, pejabat, cerpenis, hingga pemain film. Ayahnya, memberinya nama Umar Kayam karena terinspirasi pada seorang generalis sufi, filosof, ahli perbintangan, ahli matematika, dan pujangga kenamaan asal Persia yang hidup pada abad ke-12 bernama Omar Khayam.

Bagaimana dengan manusia kekinian, manusia era milenial - digital yang serba ringkas dan instans ini? Sebelum era ini lahir, dunia telah melewati suatu pertengkaran kecil antara kaum generalis serba bisa dengan kaum spesialis yang muncul belakangan.

Kaum generalis mengkritik kaum spesialis atas asumsi bahwa mereka terlalu mengkotak-kotakkan pekerjaan dan mengkhususkan segala sesuatu yang dianggap mudah dan bisa dilakukan sekaligus tapi dipecah-pecah menjadi beberapa macam profesi. Misalnya ilmu Fisika yang mulai diturunkan menjadi keahlian mekanika, keahlian teori, energi kuantum, keahlian konsep gaya, impuls, momentum, relativitas, listrik dinamis dan statis, cahaya dan bunyi.

Sementara kaum spesialis berpikir bahwa spesialisasi merupakan jalan tepat dalam penguasaan salah satu aspek dalam kehidupan manusia secara komprehensif. Meskipun tidak holistik yaitu tidak menguasai seluruh bidang ilmu, namun spesialis menekankan pada keunggulan optimal pada salah satu bidang saja. Sisi buruknya sebagaimana yang diprediksi kaum generalis mereka sangat rentan terhadap ketidaktahuan dan ketergantungan pada orang lain.

Sebagai contoh adalah hubungan antara dokter dan ahli farmasi. Pada zamannya dahulu, seorang dokter adalah profesi yang dapat menangani sekaligus memberikan obat pada pasien, namun pada masa kini peran pembuatan obat itu diserahkan kepada ahli farmasi sehingga tugas dokter menjadi semakin sempit, yakni hanya memeriksa dan mendiagnosa pasien untuk kemudian diberikan racikan obat yang harus ditebus di apoteker.

Pekerjaan dokter terus menyempit menjadi spesialis ini itu, misalnya spesialis gigi, kemudian spesialis bedah mulut, spesialis THT dan seterusnya, justru pada area yang sangat berdekatan.

Masyarakat milenial sebaiknya tidak memihak kepada salah satu kutub, tapi membuat elaborasi atas keyakinan dan rasa syukur bahwa kapasitas otak manusia yang terpakai hanya di bawah 10 persen dari seharusnya, masih banyak ruang kosong.

Spesialisasi memang lebih dalam tapi mereka lebih terkungkung atas ketidaktahuan atau bahkan ketidakpedulian pada banyak hal, sehingga menjadi generalis adalah keniscayaan zaman ultramodern. Nantinya akan tercipta manusia spesialis yang generalis multi tasking.

Yang berbahaya pada era milenial ini adalah 'spesialis hoaks generalis' yang tahu banyak hal untuk disesatkan, kemudian dibantu oleh para pengikutnya yakni para 'spesialis copas tok yang belum tercerahkan', maka calon korbannya harus pula membentengi diri menjadi netizen generalis. Welcome back manusia generalis! ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun