Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Benang Tipis antara Golput dan Idiot

17 Maret 2019   09:25 Diperbarui: 22 Maret 2019   09:33 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: jhaakasmovie.com

Andai pangeran Silicon Valley Steve Jobs dikirim ke Athena kuno, ia akan diperlakukan sebagai tukang biasa, dengan gaji kecil, tanpa pengakuan, dan cibiran mengejek di belakang punggungnya. Yunani mengimpor begitu banyak budak untuk melakukan pekerjaan teknis, sementara mereka menghabiskan waktu untuk mengoceh.

Para Sophis menawarkan orasi monolog yang panjang dengan diskon khusus pada hari berbelanja di Agora. Sementara para filosof datang memperkenalkan dialektika, berbincang dengan sesi duduk yang lama, ketika seharusnya mereka merayap kemana-mana dengan berjalan kaki. Tapi seorang genius lainnya penemu Kleroterion sebuah perangkat cerdas yang mampu memilih juri secara acak dibariskan bersama budak, namanya tidak dicatat, nisannya tak punya epitaf.

Berbeda dengan Acropolis yang berada di dataran tinggi, Agora yang tepat di jantung Athena bukanlah tempat yang nyaman untuk berpikir. 

Entahlah bagaimana cara orang melihat keindahan di zaman itu, seperti kata sejarawan Jacob Burckhardt yang hidup di abad 19 -yang padahal tetap berantakan bila kita bandingkan dengan zaman ini- tidak ada orang waras dan tenteram di zaman dia, yang mau hidup dalam kondisi macam itu.

Para penjaja dagangan di Agora selalu riuh dan makin sempurna dengan lengkingan kecapi yang sumbang. Bau kotoran manusia menusuk di mana-mana, mereka tidak mengenal toilet atau toilet itu adalah seluruh permukaan tanah. 

Mereka membiarkannya tergeletak di tempat mereka berdiri sampai seorang budak datang menyiramnya. Bila Isaac Newton ada di zaman itu, ia mungkin akan dapat tugas menyiram sepenuh hati pada hari Rabu, dan Galileo Galilie pada hari Kamis.

Agora adalah tempat berdebat, tepatnya mengoceh ketika langit Mediterania belum dipayungi filsafat. Ini adalah zaman suara, yang dilihat dari manusia adalah suaranya. Inilah zamannya retorika, yang dilihat dari seorang pria adalah kemampuannya mengoceh.

Ada dua ahli retoris yang dijadikan Plato sebagai bahan percontohan. Dia adalah Gorgias yang mewakili kaum Sophis, retorikanya palsu berbayar dan berorientasi pragmatif, satunya lagi adalah Socrates yang menyiarkan retorika suci berdasarkan kajian filsafat. Dua bintang retorika lainnya pada zaman itu yang paling diingat kini adalah Demosthenes dan Isocrates.

Di sinilah demokrasi lahir. Demokrasi lahir dari keberantakan. Atau dari semacam kebisingan yang tak dikenal dunia modern -atau dikenal dalam bentuk lain- seperti yang dilakukan bangsa Sparta saat pemilihan umum.

Kita mengenal frasa hak suara yang dikaitkan dengan proses pemilu. Dalam Inggris hak suara dikenal sebagai voting right yang berarti hak pilih. Namun untuk istilah kotak suara, frasa yang digunakan sama yakni ballot box meski istilah ballot juga diartikan sebagai lotere atau undian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun