Karena dihasut Nietzsche yang berfilsafat dengan esai-esai puitisnya, hari-hari ini saya mulai terobsesi untuk menerjemahkan tulisan-tulisan saya ke dalam bahasa puisi, dengan ekspektasi: semoga masih ada tempat untuk puisi-puisi bertema filsafat. Dimulai dari berikut ini:
Ultra Nasionalisme
tarik mundur bola kristalmu
berhentilah di bentang paling debar
kita adalah kembara megalitikum
siapa kau di tanah ini
siapa cepat
dapat
bisa saja tungkai leluhurmu tersesat
nasionalisme perisaimu
primordialisme versi jumbo
atau xenofobia level aman
bertolaklah ke meteor
kan kau temukan
sebagai misal: manusia bumi terancam UFO
lalu kau sampai ke level nasionalisme bumi
nasionalisme tata surya, bima sakti, andromena
lubang cacing
semesta raya tuhan
bahkan tangan kirimu adalah nasionalisme itu
ketika ia mulai cemburu
saat kau sibuk menghiasi kananmu
dengan cincin ruby
dan rolex legendary luar negeri
nasionalisme kau bilang?
jangan sesat ajar sebatas kau benteng istana
atau tentara suci paling langit
sementara halaman belakang mu
sudah diukur toke rumah peri
yang ujung rambutnya dihinggapi salju dari timur utara
dan lambung emas kuning ke hitam
tak usai di bawah hunusan
para pemilik sepasang mata safir
kepallah nasionalisme mu sebatas kau terlihat normal
ultra nasionalisme yang kurang periksa
tak baik untuk tetanggamu
masihkah kau dengar notifikasi dari silicon valley?
sudahkah kau intip corvus glaive?
putra angkat thanos yang paling girang membakar bumimu
dan, nasionalisme mu tetiba bicara tentang angkasa
MNT @Batam, 1 November 2018
Stunting Milenial
busung lapar itu bunyi arkais
bagaimana kalau stunting?
biar nuansa kita kekinian
jadi pelor angin kawan partisan
padahal kita mengisi teka teki silang
yang persis dengan tanah jajahan
di perut kerdil kurang gizi
generasi tik tok sana kemari
stunting milenial
julukanmu sudah keren begitu
jangan-jangan kau salah unduh
dan emakmu tak ngambil kuliah gizi
ayahmu sibuk melinting pucuk ubi
jadi asap nikotin hari ini
aku marah, kau tunjuk juga muka pemerintah
belanda telah pergi
bagaimana bisa tongkat kayu ayahmu
gagal jadi umbi
dan telaga susu emakmu tetes terakhir sisa lebaran
aku purbasangka
di mana ayah dan emakmu menyita protein
sebagai bahan baku bakar
tiga menit sebelum kau disemburkan
sekarang kuberi kau tugas kesatria
berteriaklah sekeras bajingan
sampai bunyi parau busungmu
didengar menteri kesehatan
lalu memikul segoni beras impor di depan buaianmu
dan presiden pula mengirimkanmu sepeda nirliterasi
biarpun aku amat kuatir otak kurusmu tak mampu
menghapal nama-nama ikan seenteng itu
apa lagi mengayuh hadiah
dengan perut kerdil tanah jajahan