Pemilu dapat kita analogikan sebagai kontes ratu sejagat. Akan ada dua kategori yakni ratu terbaik dan ratu favorit pilihan pemirsa. Karena negara ini tak punya juri, maka logika kita dipaksa untuk menerima pemimpin berdasarkan tingkat kesukaan mayoritas.
Selalu ada rentang yang jauh di antara keduanya. Di belakang ratu terbaik, masih ada terbaik dua, tiga dan seterusnya. Pemirsa nyaris tak pernah tahu apa yang terbaik untuk mereka dan itu adalah keniscayaan demokrasi. Sementara kebenaran tidak ditentukan oleh suara mayoritas.
Demokrasi memiliki jebakan-jebakannya sendiri, salah satunya adalah elektabilitas atau tingkat kesukaan publik yang kemudian berakhir di kotak suara. Ada sesuatu yang disembunyikan atau bahkan refleksi kenaifan jika ada yang mengatakan bahwa si X telah terpilih secara demokratis.
Jika memakai diksi yang kejam, demokratis yang dimaksud tak ubah seperti seorang badut yang dijulang dari panggung sirkus hanya karena mendapat tepuk tangan terbanyak.
Sudah berapa ribu lusin badut yang tertangkap korupsi, namun pemilihnya seperti tak merasa bersalah telah menitipkan perampok ke dalam negara. Atau sudah seberapa banyak pemimpin dan anggota legislatif yang unfaedah atau tidak memberi nilai tambah kecuali membebani negara. Paling tidak kita mulai insyaf, bahwa elektabilitas tidak sama dengan hukum fisika.
Dua kandidat yang berdiri di panggung sirkus demokrasi sekarang ini bukanlah mereka yang terhebat, tapi adalah mereka yang berhasil melewati lubang jarum politik elitis. Seperti kata penulis dan penyair Skotlandia, George E. MacDonald, bukanlah hakikat politik bahwa orang terbaik harus terpilih. Orang yang terbaik malah tak berpolitik karena tidak mau mengatur para pengikutnya.
Demokrasi adalah penegasan kalau dunia ini tak lebih dari senda gurau. Sejak awal kita menyerahkan hal-hal yang serius kepada politisi. Politisi adalah salah satu profesi tertua sekaligus yang paling diminati. Sedangkan di dunia ini menurut Groucho Marx, semua orang dilahirkan sama, kecuali para politisi.
Sejarah adalah sejenis drama di mana setiap babak diikuti oleh paduan suara ketawa. Agar politisi dapat menampilkan dirinya, maka kondisi negara dibuat seolah-olah ruang hampa. Padahal tidak begitu, negara bisa membuat cetak birunya sendiri dan dapat dijalankan secara kemudi otomatis.
Percayalah bahwa politisi telah lama membangun mitos, untuk mambantah teori tersebut agar selalu tersedia kursi panas yang bisa mereka pertengkarkan. Wartawan dan kritikus budaya AS, Saul Bellow sampai berujar, merebut posisi presiden sekarang adalah satu persilangan antara kontes popularitas dan debat anak SMA, dengan ensiklopedi yang terutama berisi kata-kata klise.
Kontestasi politik yang didesakkan oleh kalangan politisi agar terjadi sirkulasi elit dengan berlindung di balik demokrasi, menyebabkan negara ini tak pernah memiliki cetak biru. Padahal Negara -seharusnya- sudah punya sistemnya sendiri, sampai kepada tingkat, pemimpin diberi ruang bicara untuk mengatur sedikit hal, di luar semata membaca teks pidato dan menggunting pita.