Sayangnya demokrasi yang kita puja bukanlah jalan kebaikan absolut. Bahkan dalam filsafat politik, demokrasi pernah dijebloskan bersama kawanan sistem bernegara yang cacat. Mereka adalah tirani, diktator, dan oligarki.
Demokrasi itu seperti Pandora, wanita ciptaan dewa yang dikalungkan kepadanya semua estetika mitologis. Sampai di hari pernikahannya bersama Epimetheus, para dewa Yunani menghadiahinya kotak yang indah. Kotak itu adalah kotak larangan berisi teror terhadap kemanusiaan, tapi Pandora telah membukanya.
Analogi demokrasi yang terbaik adalah ketika Pandora tidak bersama kotak larangan itu. Demokrasi dan Pandora di awalnya tampak baik. Wacana demokrasi demikian indah dan memiliki kekuatan magis untuk meruntuhkan tirani. Tapi nyaris tidak satupun negara yang menganut demokrasi berhasil mencegah agar Kotak Pandora itu tidak terbuka.
Semua sistem pemerintahan awalnya baik sampai ia jatuh tertelungkup kepada penyimpangan hukum moral. Maka monarki berubah menjadi tirani, republikan menjadi diktator, aristokrasi menjadi oligarki, dan politi (sistem terbaik menurut Aristoteles) menjadi demokrasi. Dalam hal ini demokrasi tidak dipersempit sebatas wacana kebebasan, yang justru adalah kanal kedunguan dan kebrutalan publik.
Demokrasi akan menjadi sia-sia kepada bangsa yang tidak siap untuk itu. Demokrasi hanyalah akar ketika rotan utopia tak teraih. Akar yang kemudian menumbuhkan pohon distopia. Demokrasi di kita hingga sejauh ini hanyalah sebentuk pertahanan yang seolah-olah ada daulat di tangan rakyat.
Nietzsche yang membapaki post-modernisme bahkan dengan kejam menuduh rakyat pemuja demokrasi sebagai Apolinia yang memiliki mentalitas ternak, mengorbankan kebesaran dirinya untuk menjadi pemuja kultus individu.
Demokrasi kita adalah demokrasi estetika, seperti rentak tari penuh pretensi untuk berkuasa dari para elite dan kegirangan nirkepentingan dari rakyat yang tak sadar di untung bahwa mereka adalah tuan yang sesungguhnya. Seperti Kotak Pandora, terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk menyebut bahwa kita telah seolah-olah berdemokrasi.
Negara merogoh kantongnya dalam-dalam  untuk membayar mahal ritual episodik demokrasi. Rakyat dan politisi terlibat dalam hubungan yang aneh dan mempertahankan logika yang tak kalah aneh. Mereka menyebutnya: elektabilitas.Â
Narasi dan pertengkaran melarikan diri dari substansi. Di tengah masyarakat yang tingkat literasinya di urutan terbawah dunia, demokrasi hanyalah episode kedunguan. Kedunguan dimulai justru ketika menganggap demokrasi -tanpa telusur- itu adalah segala-galanya.
Sedangkan demokrasi etis terbenam ke dalam fenomena artifisialisasi. Etika dalam demokrasi bahkan dikenali sebagai penyusup karena ia tampak begitu asing. Etika moral dipakai sekali-kali tanpa ada jaminan hasilnya akan logis. Dalam hal ini, demokrasi seolah tampak bahwa: filsafat moral Immanuel Kant terkalahkan oleh Utilitarianisme JS Mill, ketika kelihatan baik dan bermanfaat, ya sudah.