Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Biarkan Hang Tuah Tinggal dalam Lingkaran Mitosnya

13 Oktober 2018   13:07 Diperbarui: 7 Maret 2021   10:12 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografis: File Rida K Liamsi

Di sini benang merahnya -sebaiknya para saintis segera menyingkir dari wilayah ini- bahwa di dalam DNA moyang Melayu sudah terbenamkan dua tonggak filsafat terbesar dalam sejarah: idealisme Plato junto Sokrates plus realisme Aristoteles. Lagi-lagi paradoks, sebab Aristoteles sendiri adalah seorang yang ilmiah sekaligus nabi pertama kaum saintis yang memusuhi mitologi sejak pertama.

Kembali ke empat ide dasar sejarah umat manusia: mitos, sastra, filsafat, dan ilmu. Stephen Palmquist membuat penjelasan bahwa hidup dengan bermitos adalah seperti tinggal di suatu lingkaran tanpa mengetahui hal-hal tentang keberadaan lingkaran itu sendiri. Ini karena pemikiran mitologis itu bebal perihal tapal batasnya.

Para pujangga menarik diri dari lingkaran mitos secukupnya sehingga mengakui eksistensi tapal batas itu. Sastra merupakan upaya untuk melisankan makna mitos dengan cara sedemikian rupa sehingga maknanya bisa dipahami oleh orang-orang yang sepenuhnya bertahan di luar tapal batas. Karenanya pujangga tinggal di tapal batas itu.

Sebaliknya, para filsuf melangkah sepenuhnya di balik tapal batas. Akan tetapi, mereka masih cukup dekat dengan lingkaran mitos sehingga mereka mengakui realitas dan signifikansi makna tersembunyi yang terkandung di dalam ekspresi puitis mitos.

Sementara para ilmuwan berposisi sebegitu jauh dari mitos sehingga, jika mereka memandang lingkaran mitos sepenuhnya, mitos itu hanya tampak sebagai satu titik di kejauhan tanpa isi yang maknawi.

Impian zaman keemasan di Yunani Kuno mengacu pada kebudayaan Minos-Misena, yang pudar pada masa Perang Troya (kira-kira 1200 SM). Zaman itu merupakan inspirasi untuk perekaan mitos-mitos Yunani. Perkembangan yang paling signifikan berikutnya dalam sejarah Yunani adalah penciptaan epos-epos Homer (kira-kira 900 S.M), yang bahan-bahannya meluncur dari kompleks mitos ini.

Demikian pula mitologi Melayu yang mengacu kepada Sulalatus Salatin, Malay Annals, Hikayat Hang Tuah, Tuhfat al Nafis, dan seterusnya adalah campuran antara mitos dan fakta sejarah. Ketika fase mitos-mitos Yunani disulam oleh Homer, mitologi sekaligus sejarah Melayu paling tidak dimulai oleh Tun Sri Lanang yang kemudian direproduksi oleh Munsyi, Raffles, dan Shellabear.

Tinjau: Dialektika Moralitas dalam Epos Hang Tuah

Sempena Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2018 (digagas Rida K Liamsi dkk), di antaranya dimegahkan dengan peluncuran buku Antologi Hang Tuah dalam Puisi*, hendaknya para sastrawan negeri serumpun (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai, Thailand, Myanmar, Kamboja dan Vietnam) yang terlibat di dalam penulisan puisi Hang Tuah untuk tinggal lebih lama dalam dimensi mitologis-metafisis.

Penggunaan inti bahasa dari akar-akar bahasa purbawi akan menjadi demikian indah bila Hang Tuah disanjung atau didebatkan di dalam lingkaran mitosnya, ketika fakta sejarah tidak cukup kuat-atau bahkan kontraproduktif- untuk menghadirkan diksi-diksi puitis yang maha bebas. Tugas mendebat adalah tugas filsafat, tapi mengapa tidak?.

* Para Kurator: Sutardji Calzoum Bachri, Rida K Liamsi, dan Hasan Aspahani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun