Hanya dalam 600 milidetik, otak manusia dapat memikirkan sebuah kata, mengaplikasikan aturan gramatik, dan mengirimnya ke mulut untuk diucapkan. Tapi begitu kata diucapkan, secara mekanis mulut hanya punya kemampuan bicara 200 kata per menit, sedangkan otak lawan bicara punya daya serap 300 hingga 500 kata per menit.
Tidak jarang bila kita bicara lambat atau normal sekalipun, lawan bicara dapat memotong sebelum kata-kata selesai. Akan banyak ruang kosong dan waktu ekstra yang terbuang dalam setiap sesi menyimak orang-orang berbicara.
Bila kalimat-kalimat dianggap tidak penting atau tidak menarik bagi pendengar, berbicara dengan tidak berbicara hampir tidak ada bedanya. Apalagi jika yang berbicara otaknya lambat, sementara pendengarnya adalah seorang genius.
Tapi bila kalimat yang diucapkan rapat dan berenergi, rumit serta menyita perhatian lawan bicara, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Pendengar akan sibuk menganalisis kata demi kata, bahkan bisa melebihi waktu ekstra yang tersisa. Hal ini berpotensi memunculkan fenomena gagal paham.
Proses yang sama juga terjadi saat kita membaca. Rerata manusia memiliki kecepatan membaca 250 hingga 300 kata per menit, sedangkan kemampuan otak dalam menyerap informasi, tertulis dalam Unlimited Potency of The Brain, berada dalam kecepatan mencapai 100 meter per detik.
Jika sebuah tulisan tidak rapat, atau tak punya energi untuk mengikat pembaca, proses membaca akan menyisakan waktu ekstra untuk melayang-layang entah kemana. Semakin cepat prosesor otak seorang pembaca, pikiran mereka semakin mungkin untuk tidak berada di tempat.
Penulis dan pembaca harus punya minat khusus terhadap aksara dan angka yang akan mengikat di antara keduanya. Jangan sampai ada satu huruf pun yang tersia-sia dalam ruang dan waktu sejarah.
Ada yang menyebut aksara adalah semacam sistem tulisan. Ada pula yang mengaitkannya dengan alfabet dan abjad yang menjadi komponen terkecil dalam setiap tulisan. Mungkin angka juga menjadi elemen dari aksara. Aksara dan angka adalah suatu sistem simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya
Secara etimologis, aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tidak termusnahkan. Aksara bermakna kekal atau abadi, dikatakan demikian untuk mengingatkan bahwa peranan besar aksara dalam mendokumentasi atau mengabadikan suatu peristiwa atau kata dalam media tulis.
Para kungfu retorika mulai Demosthenes dan Isocrates sampai Sukarno dan Martin Luther King telah menyihir dunia dengan kata-katanya. Tapi kata-kata itu sebenarnya sudah lenyap bila tak diaksarakan.