Tulisan ini dimulai dari nada satire penuh lagak seorang penyair komedi Lysippus namanya: Jika belum melihat Athena, kau seorang yang bodoh. Jika sudah melihatnya dan tidak terpesona, kau seorang bajingan. Dan jika kau memilih untuk pergi, kau tidak lain hanyalah kuda barang.
Kenapa terus menerus Yunani, karena bangsa ini telah melahirkan para filsuf yang kalimat filosofisnya paling banyak dikutip oleh para pemikir sepanjang 2.500 tahun. Sengaja atau tidak. Dan di Yunani satu pohon anggur kebijakan tumbuh tanpa tandingan: Athena. Kota ini telah banyak melahirkan "dewa" pemikir di mana pun yang pernah dilihat dunia sebelum maupun sesudahnya. Hanya Florence di zaman Renaisans yang mendekatinya.
Maka maafkanlah Lysippus atas kesombongan, atau balaslah dia dengan mengungkap kenyataan pahit ini: darah kental Yunani nan jenius itu telah lama mengencer, kawan! Seorang antroplog Australia membocorkan bahwa Yunani modern bukanlah anak cucu Socrates dan Plato, melainkan keturunan bangsa Slavia dan Albania yang bermigrasi ke Yunani berabad setelahnya.
Sepertinya kabar perih yang membungkam Lysippus ini ada benarnya. Dibanding Sparta yang garang dan memagari kotanya dengan tembok tinggi, Athena adalah polis (kota) di Yunani yang paling terpapar. Setelah trio Socrates, Plato, Aristoteles selesai, Athena adalah embrio globalisasi sekaligus pengemis intelektual yang hebat. Mereka meminjam alfabet dari Funisia, obat-obatan dan seni pahat dari bangsa Mesir, matematika dari Babilonia dan literatur dari Sumeria.
Yunani kuno bukanlah pencipta alat-alat, mereka adalah bangsa pemikir dengan sesi duduk paling lama dan hampir tidak menutup hari tanpa bersyair. Dahulunya orang kuno ini berbicara dengan sastra monolog, mereka bercakap dengan diri sendiri atau kepada Tuhan. Sampai datang pria kumal dengan wajah tanpa ekspresi ini. Socrates mengajak manusia bercakap-cakap, berdialog dan karena inilah ia dihukum meminum racun.
Para penyair dan penulis kreatif ketika itu lebih banyak berbicara kepada Dewi Seni mereka bernama Muse. Ia adalah "penentu" kapan penyair mulai menulis dan apa yang akan ditulis. Homer adalah penulis pertama dunia dan sekaligus sebagai penulis pertama yang mengalami kebuntuan ide. Dia memulai Odyssey dan memohon ampun kepada dewa seni, jika ada salah-salah kata. Dan sebagaimana penulis lainnya, Homer mendambakan legitimasi. Pantang karyanya digugat.
Penyair akan mempertahankan karya-karyanya, membuat legitimasi dan membentenginya seperti Spartan. Sekuat tenaga mereka akan membelanya seperti Lysippus membela Athena:Â Jika belum membaca karya saya, kau seorang yang bodoh. Jika sudah membacanya dan tidak terpesona, kau seorang bajingan. Dan jika kau memilih untuk pergi, kau tidak lain hanyalah kuda barang.
Sekarang ini kondisinya sudah sangat membaik, kotak dialog tersedia di mana-mana, di masa lalu Socrates harus membayarnya dengan menenggak racun. Seorang penulis atau sastrawan butuh menyigi karyanya dari kacamata orang lain. Jika tak ingin disebut asyik sendiri dalam lamunan egosentris.
Kritik dan dialog sastra menarik disimak di tengah kurang gempitanya dialektika literasi di tanah air. Kritik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kritike, artinya pemisahan; krinoo: memutuskan, mempertimbangkan, menyatakan pendapat.
Seperti tertulis di laman Pena ASQ, kritik sastra memiliki hakikat sebagai kegiatan secara teoritis, objektif, dan terstruktur dalam mempertimbangkan, memutuskan, dan menilai karya sastra, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa karya tersebut dianggap baik atau buruk.