Salah satu batasan akademiknya, psywar adalah suatu tindakan yang dilancarkan menggunakan cara-cara psikologi dengan tujuan membangkitkan reaksi psikologis yang telah terancang terhadap orang lain.
Psywar merupakan salah satu strategi yang sering digunakan dalam peperangan. Berbeda dengan perang-perang konvensional yang bermodalkan senjata atau berbagai peralatan fisik lainnya untuk mengalahkan musuh, psywar memanfaatkan sisi psikologis dan pemikiran lawan agar bisa dipecah konsentrasinya.
Lebih jauh dari itu, psywar yang dimainkan oleh para Cebong dan Kampret adalah untuk mempengaruhi psikologi massa, membentuk bahkan memanipulasi opini publik, melancarkan pembunuhan karakter, dan cara-cara apapun baik yang terlihat tidak elegan, dan lebih banyak kekanak-kanakan, menebar hoaks-hoaks terburuk yang mereka punya, sampai remeh temeh non substansial lainnya.
Lini pertemanan di media sosial oleh para Cebong dan Kampret ini menjadi serupa film Hollywood berjudul Contagion. Mereka menabur virus mematikan yang bisa menular hanya dengan sentuhan saja (pada keypad atau keyboard). Virus yang diterminologikan dengan MEV-1 ini menyerang pusat sistem saraf dan dapat membunuh hanya dalam waktu dua hari: ketika hoaks menjadi viral.
Virus ini menjadi endemi yang menjangkiti para Cebong tanpa dosa yang hidup di telaga jernih dan Kampret yang bergelantungan di pohon-pohon suci dan belum terkontaminasi. Mereka keluar dari habitat penuh damai untuk menjadi tentara-tentara paruh waktu tanpa upah.
Akhir-akhir ini fenomena itu makin menakutkan. Mereka menghabiskan waktu untuk menjadi pengoceh dan pengujar kebencian, penabur dan penyambung hoaks suka-suka. Waktu-waktu efektif mereka sudah terbunuh dan terkubur ke dalam lini masa.
Ketika perang usai, para pemenang dari kelas Cebong dan Kampret profesional alias buzzer lah yang akan memungut harta pampasan. Tentara-tentara Peter Pan atau Batman itulah yang akan jaya mengelilingi singgasana.
Sedangkan Cebong dan Kampret paruh waktu, mungkin akan hanyut sejenak dalam glorifikasi semu. Lalu kembali ke habitat aslinya, melakoni hidup sedia kala: tidak bekerja keras tidak makan. Tidak ada beras gratis dari istana, siapapun junjungannya. Mereka saja hidup dari utang dan pajak rakyat.
Para Cebong dan Kampret paruh waktu bahkan mungkin dianggap tak pernah ada, kecuali untuk saat ini, dan lima tahun lagi. Akhir kisah Cebong versus Kampret adalah lini massa di sosial media yang sudah terlanjur menjadi tampungan sampah raksasa penuh hasutan dan kebencian. Ini akan tercatat sebagai sejarah kelabu Indonesia di zaman milenial. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H