Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dilema Pengeras Suara Azan

21 April 2018   15:48 Diperbarui: 6 Juli 2018   17:14 4217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: mytransparantwings.wordpress.com

Kau bilang Tuhan sangat dekat tapi kau memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat

(KH. A. Mustofa Bisri alias Gus Mus, 1987)

Potongan puisi ini mengendap 30 tahun sampai seorang politisi membacanya kembali. 

Kalau yang dimaksud itu azan, pasti pesohor religi sekelas Gus Mus sangat tahu bahwa itu bukan untuk memanggil Tuhan. Keseluruhan isi puisi berjudul "Kau ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana" itu sempurna, kecuali bait yang satu ini. Bingung!

Speaker menjadi sensitif hari-hari ini begitu ia disudutkan. Alexander Graham Bell dan Charles Parsons yang memegang hak paten speaker tidak sangka jika pada suatu masa di Indonesia temuan mereka menjadi ikon di antara dua matahari kembar politik tanah air. 

Dari 14 abad lebih sejarah keislaman, speaker muncul di urutan ke-14. Pada 1876 speaker Bell baru berbentuk cetak biru dan setahun setelah itu diperbaiki oleh Earn Siemens. Butuh hampir seratus tahun pula untuk terpasang merata di kubah dan menara masjid Indonesia.

Begitu tiba di Indonesia nasib speaker hampir sama dengan kompas penunjuk arah kiblat dan kursi yang dibawa pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan di ruang pengajian: dianggap bid'ah dan produk kafir. Sebuah masjid di Kebon Jeruk, Jakarta, justru mengharamkan penggunaan pengeras suara pada 1970-an. "Karena tidak ada pada zaman Nabi," kata A.M. Fatwa, koordinator Dakwah Islam Jakarta, kepada Kompas, 12 Januari 1977.

Dalam catatan Historia orang-orang Indonesia menyebut pengeras suara sebagai TOA, sebuah merek dagang dari perusahaan alat elektronik asal Jepang. Berdiri pada 1934, TOA masuk ke Indonesia pada 1960-an. Lalu menjadi alat pengeras suara paling sohor di desa dan kota. Mengalahkan merek lainnya yang muncul lebih dulu.

Masih dalam catatan Historia, G. F. Pijper, seorang Belanda peneliti Islam di Indonesia, sebenarnya telah menyaksikan kehadiran pengeras suara di masjid Indonesia jauh sebelum 1960-an.

"Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara," tulis Kees van Dijk, "Perubahan Kontur Masjid," termuat dalam Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia. Van Dijk mengutip Studien over de geschiedenis van de Islam karya Pijper.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun