Indonesia sudah bubar dalam tahun 2030. Tertulis dalam novel fiksi ilmiah Ghost Fleet. Novel ini tidak bisa dikatakan sembrono, karena penulisnya PW Singer adalah ilmuan dan seorang ahli strategi Amerika. Tapi Indonesia telah dilihat sebelah mata, sebagai negara acak (random country) dan tak punya masa depan. Tidakkah itu menyakitkan? Hebatkah mereka yang menulis novel ini, atau justru sebaliknya dari perspektif yang lain?
Adalah Prabowo Subianto, dalam retorika kebangsaannya ia mengangkat novel yang terbit 2015 itu sebagai pewanti-wanti untuk kemungkinan Indonesia sebagai medan tempur dan tidak lagi eksis setelahnya.
Novel Ghost Fleet atau Armada Hantu ditulis hasil duet PW Singer dan August Cole. Berkisah ihwal skenario Perang Dunia III antara dua poros utama yakni Amerika Serikat dengan duet China-Rusia. Beberapa latar cerita terletak di Selat Malaka dan bekas Republik Indonesia.
"Kanal sepanjang enam ratus mil antara bekas Republik Indonesia dan Malaysia kurang dari dua mil lebarnya pada jarak tersempit, hampir memisahkan masyarakat otoriter Malaysia dari anarki di mana Indonesia tenggelam ke dalamnya setelah perang Timor kedua," demikian penggalan novel ini yang bertutur tentang Indonesia. Untuk kemudian Indonesia sebagai bekas negara disebut sambil lalu pada beberapa halaman.
"Drone listrik V1000 milik Direktorat (China) sebenarnya telah digunakan untuk berbagi data kepada sistem komersial, tapi kelincahan dan kemampuan menghilang menjadikannya pilihan bagi China untuk misi penyerangan di Afrika dan bekas Republik Indonesia," bagian lain dari novel ini.
Dikutip dari Randu, seorang netizen, Singer bukanlah penulis fiksi biasa. Sebelum novel Ghost Fleet, dia menulis empat buku yang kesemuanya nonfiksi. Buku terlarisnya yang diterbitkan Penguin, berjudul Wired for War: The Robotics Revolution and Conflict in the 21st Century. Dia mewawancarai ratusan ilmuwan robotika, penulis fiksi ilmiah, tentara, pemberontak, politisi, pengacara, jurnalis, dan aktivis hak asasi manusia dari seluruh dunia.
Wired for War mengangkat tentang bagaimana teknologi robotik akan memainkan peran yang lebih banyak dalam peperangan masa depan. Buku ini dinobatkan sebagai Non-Fiction Book of the Year di tahun 2009 oleh majalah Financial Times dan masuk menjadi bacaan resmi di Angkatan Udara dan Angkatan Laut AS serta Angkatan Laut Australia. Sementara Ghost Fleet sendiri direkomendasikan sebagai bacaan wajib di kalangan militer Amerika. Laksamana James Stavridis menyebut The Ghost Fleet sebagai: sebuah cetak biru yang mengejutkan untuk perang masa depan dan karenanya perlu dibaca sekarang juga!
Defense News menobatkan Singer sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh dalam masalah pertahanan. Dan semua jejak digital pencapaiannya terdapat di berbagai laman yang menyimpulkan Singer tidak sebagai orang biasa.
Tapi jika kita menoleh ke perspektif lain, maka yang diprediksi dan diimajinasikan Singer dalam novelnya adalah manifestasi dari tiga hal keliru dari hubungan internasional di abad (post) modern: geopolitik, nasionalisme dan militerisme.
Menurut Hans J. Morgenthau, geopolitik, nasionalisme dan militerisme adalah teori-teori yang tidak pernah didasarkan atas ilmu pengetahuan (pseudoscience).Mereka menjadikan faktor geografi sebagai hal mutlak untuk menentukan kekuatan dan nasib suatu bangsa. Pemikiran yang hanya berlandaskan kepada ruang (space) negara dalam ruang dunia yang selalu dinamis. Kehendak penguasa yang hegemonik bukan selalu kehendak semesta dan rakyat yang terus mengglobal.