Sekelompok juru kampanye bisa saja menghapal dan meniru janji – janji kandidat yang ingin mereka menangkan, meski mereka tahu sang kandidat sedang mengucapkan janji palsu, sepalsu – palsunya.
Orang – orang membuat lingkaran untuk mengelilingi pusat kekuasaan. Dengan suatu kontrak politik tak tercatat, mereka dengan sadar merebahkan diri menjadi pasukan pemberani, berani tidak berpikir. Tugas mereka adalah bersuara, tentunya suara yang sudah didiktekan.
Manusia adalah spesies pintar yang dibekali otak seberat 1,4 kilogram. Otak dibentuk dari jutaan neuron yang saling berhubungan sehingga membentuk triliunan sinapsis. Tidak ada beda antara yang satu dengan lainnya. Artinya setiap individu diberikan kesempatan yang sama untuk menciptakan letupan – letupan keajaiban dari neuron – neuron yang tersambung. Sayangnya peluang itu dilewatkan begitu saja, lalu menyerahkan persoalan umat manusia ini hanya kepada para filsuf, ilmuan, agamawan sampai paranormal.
Sebagai sebuah bangsa yang – dengan terpaksa - menganut demokrasi, rakyat sebenarnya mutlak menjadi  ownershipdemokrasi itu. Tapi sayangnyakepemilikan penuh itu sejak awal sudah dikacaukan oleh fenomena gagal telaah. Kita telah menempatkan diri sebagai pesuruh demokrasi.
Dalam dimensi utopia, rakyat adalah tuan besar demokrasi. Merekalah yang memilih pemimpin, mengawasi, memberi fasilitas dan kemudian memecatnya jika kurang akal atau membuat kesalahan fatal. Tapi sayangnya, rakyat sudahpun menurunkan derajatnya menjadi sekelas kacung bahkan budak yang menyuburkan feodalisme. Alih – alih mengkritik atau meluruskan tabiat pemimpin yang melenceng, justru mereka berperan sebagai juru selamat untuk memastikan sang pemimpin tetap bisa kukuh di atas singgasana. Rakyat hanya terlihat garang, jika kebetulan pemimpin yang terpilih bukan dari kubu mereka.
Kita membutuhkan lebih banyak pemilik hati seringan awan yang ilmunya membentang luas dari kedalaman hutan Amazon sampai ke gurun Sahara. Lebih dari itu, mereka adalah orang yang peduli. Bangsa ini akan terus tampak naif, jika orang – orang pandai terus bersembunyi dan sibuk mengurus diri sendiri atau muncul sekali – kali sebagai pengamat paruh waktu. Kita tidak mungkin menunggu pahlawan bertopeng atau Dewi Fortuna. Turunlah dari gunung, bebaskan Kakaktua dari penjara – penjara mereka. Bisikkan kepada mereka dengan lembut agar bisa menembus ke lubuk hati bahwa: negeri ini sudah sold out.!
Ajari mereka untuk kembali bersenandung dengan alam. Ingatlah, Kakaktua yang mampu meniru suara manusia akan dipuji dan diberi makan cukup, tapi mereka tetap dikurung atau dirantai seumur hidup.
****
Terlalu lama dan terlalu banyak Kakaktua yang terpenjara, hingga mereka lupa lari ke hutan. Sedangkan hutan itu sudah dirampas, hampir sedikit yang tersisa, itu pun berupa Taman Marga Satwa yang sedang sekarat. Daripada berputih mata, lebih baik berputih tulang.
Perhatikan ini. Sebagaimana ditulis Andrea Baharamin dalam Perang Tanah: Wajah Baru Neoliberalisme di Sektor Pangan dan Energi disebutkan, sejak krisis finansial 2008 mereda, kita menyaksikan fenomena global baru yang disebut dengan perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbing). Yaitu sebuah model pengambilalihan kepemilikan tanah di negara-negara miskin atau negara berkembang oleh perusahaan-perusahaan multinasional. The Economist dalam laporannya di tahun 2009 mencatat bahwa ada sekitar 37 hingga 49 juta hektar yang telah berhasil dirampok sejak tahun 2006. Jumlah itu terus meningkat di tahun-tahun berikutnya paska krisis 2008.
Sebuah laporan di awal November 2014 dari Lund University, Swedia, membenarkan prediksi di atas. Laporan tersebut memberikan gambaran mengerikan tentang ekpansi perampasan tanah. Dari total 195 negara yang diakui PBB, 126 di antaranya terlibat transaksi perdagangan tanah di mana Cina (bertransaksi dengan 33 negara), Inggris (30 negara) dan AS (28 negara). Ketiganya muncul sebagai pemain utama yang rajin membeli tanah dari negara-negara di Afrika dan Asia utamanya Indonesia sebagai destinasi.