Mohon tunggu...
Muhammad Naufal Lubis
Muhammad Naufal Lubis Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba bercerita tapi ini bukan sebuah berita

Saat seorang sahabat pergi tanpa alasan, yang ku tau hanya mencari cara untuk membawanya kembali bersama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Bangkit

24 Mei 2020   22:43 Diperbarui: 24 Mei 2020   22:47 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bangkit,
Terbangun dari mimpi sang rembulan.
Mulai terbuka mata terdengar ketukan pintu seorang istri.
"Bangun sayang"
Dia yang biasa tertidur manis.
Berdiri dan bangkit untuk melihat tawa sang bayi.
Berat beban hidupnya.
Memikul kiloan baja panas yang membakar jiwa.
Dia yang biasa menikmati hidup dengan bahagia berkata :
"Habis sudah"
Coretan tangan tanda putus asa datang kerumah.
Membisiki kesedihan yang harus dijalananinya.
Bukan karna mau, tapi keadaan telah membunuhnya.
Dia yang mulai bahagia melihat canda sang anak.
Mulai terpaku dan merasa gundah.
Dia mulai berfikir.
Memecahkan tembok kokoh yang menghalangi percikan kebahagiaan.
Terdiam dan menunggu.
Tak ada hasil yang menjadi petunjuk.
Kaku, serasa mati mata kaki itu.
Sulit untuk melangkah.
Melilit lambung sebagai tanda kesedihan.
Mulai hilang tawa canda sang bayi.
Tak ada lagi ketukan selamat pagi dari sang istri.
Mulai terfikir,
Untuk menyerah.
Keinginan bahagia mulai terpendam.
Tertutup oleh belenggu awan hitam yang akan hujan.
Dia yang mulai merasa sakit.
Mencoba bangkit.
Merobek sisi sisi keterpurukan dalam hidupnya.
Memikirkan sang anak.
Memikirkan canda sang istri.
Membuat keinginan bangkit dari dalam jiwanya.
"Bangkit"
Bangun dari tidur gelap sang rembulan.
Mencoba mencari bintang di tengah malam.
Menari seolah olah hari tak pernah susah.
Hingga akhirnya..
Hancur pembatas di atas kasur.
Mulai mendapatkan kebahagian.
Sedikit memang.
Tapi terus menggemu bagai meledak di dalam jiwa.
Memadamkan air mata kesedihan di dalam diri.
Menjadikannya awan putih yang membawa biru bahagia.
Dia yang selalu menyerah.
Kembali menjadi bahagia.
Kembali mendengar canda dan tawa sang anak.
Tersimpan memori tentang kesedihan.
Sakit memang.
Tapi keluarga, harapan sang istri, canda sang anak, membuat semuanya terasa terlupakan.
Menghilang.
Datang kembali dengan hal yang baru.
Anugrahnya membuat kebahagiaan yang terpendam menjadi nyata.
Hingga semua kesedihan tertutup.
Oleh air mata sang anak yang manis.
Kembali terbangun dari tidur sang rembulan.
Mendengar pelukan sang istri yang membisikkan.
"Sudah pagi sayang"
Kini,
Dia membuka mata dengan melihat bintang kebahagiaan sang istri dan canda tawa sang anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun