Toko online, ya sebuah tempat dimana pemilik produk menaruh etalase produk mereka secara visual dan bisa diakses oleh banyak orang melalui internet, sebut saja browser. Fenomena ini mungkin sudah tidak asing lagi, muncul di era 2013-2014 semua orang sudah mulai berlomba-lomba menjual produk mereka melalui internet. Para pemain masih sedikit yang menjual diinternet [pemilik bisnis] sehingga mungkin kompetisi tidak seramai sekarang. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya variasi produk dalam sebuah toko online umum, ya yang paling populer saat ini adalah marketplace, tempat dimana penjual dan pembeli bertemu. Kini, ketika kita mencari dipencarian sebuah marketplace tertentu produk yang kita pilih memang jenisnya 1 tapi yang jual ada banyak, bahkan hingga puluhan toko.
Para penjual itu sedang berlomba-lomba untuk ditemukan dan dipinang oleh para konsumen mereka, tidak jarang mereka membuka banyak toko dengan nama berbeda dengan upaya untuk kapitalisasi market disitu. Hanya saja kembali lagi, konsumen sekarang lebih cerdas, mereka bisa membedakan mana yang asli mana yang palsu dari sebuah tampilan toko.
Kami melakukan penelitian konsumen mengenai bagaimana mereka ditemukan oleh konsumen, tapi itu saja tidak cukup. Mereka [para pemilik toko] Â perlu lebih lihai dari para konsumen mereka, membaca bagaimana kemauan konsumen, alih-alih meyakinkan mereka untuk memilih toko mereka sebagai pesinggahan terakhir untuk membeli produk yang mereka sukai.
Sekali lagi, KITA TIDAK SALING KENAL.Â
Ada puluhan toko, yang menjual produk yang sama, bagaimana cara kita berkomunikasi kepada mereka, lalu membuat mereka YAKIN dan memilih kita, itu tidak semudah itu prosesnya. Ada banyak faktor yang melatarbekalangi mereka untuk memilih. Dalam kaitan ini, kita bisa menyebutnya sebuah kepercayaan konsumen dalam memilih, memangnya kalau toko kita bagus, produknya banyak pasti mereka yakin mau beli? BELUM TENTU.
Ada lho, toko yang kurang bagus, desain juga asal-asalan, yang beli juga banyak sekali hingga ratusan K. kalau kata orang bisa dibilang, rezeki tidak kemana, ya memang sudah rezekinya. ya baik, itu persepsi yang bagus, tapi dalam hal ini kita memposisikan diri sebagai peneliti yang membaca dan mengamati bagaimana mereka memutuskan untuk memilih dari puluhan toko yang mereka lewati. Ini menarik, saya pernah bercerita / menulis sebuah statement mengenai "cara kucing memetakan wilayahnya" mereka dikaruniai Tuhan sebuah indra dan juga feeling untuk bisa menandai, merasakan kehadiran orang yang baik ataupun yang tidak, saya mengambil dari sebuah jurnal riset mengenai ini, dan kaitannya itu mereka mengelaborasi dengan penelitian neuromarketing.
Ini mengenai bagaimana mereka "Tertarik" terhadap sesuatu yang mana menurut mereka itu menarik untuk mereka, tanpa mereka tahu apa yang mereka rasa tertarik, dan kadang-kadang hal ini dipicu dalam tingkat emosional. Coba kita ingat-ingat, pernah kan kita tiba-tiba pengen beli sesuatu, eh ini kayaknya enak, eh beli disini aja ah. Perasaan daya tarik tersebut dipengaruhi oleh kesamaan emosi tertentu, yang membuat dia yakin dan memutuskan untuk pergi kesana.
Ini juga yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, ada yang kita merasa kita percaya sama seseorang ada yang kita merasa ragu dengan seseorang, kaitannya adalah mengenai sebuah emosi. itu saja mengenai hubungan manusia, lalu bagaimana jika kita pindah ke kasus diatas?
Kita tidak saling kenal, lalu kita menjual produk kita melalui internet, mereka rela untuk membayar tanpa mereka tahu bentuk produk tersebut secara nyata, dimana mereka menjual, bahkan tidak tahu siapa orang yang ada dibaliknya menjual. Tentu proses itu lebih sulit dibandingkan dengan kita sesama manusia yang bertemu, hanya saja teknologi semakin berkembang di era sekarang, metode yang diterapkan diatas sudah di konversi lebih canggih lagi, dipersonalisasi lagi hingga perasaan emosi tersebut bisa tersampaikan dengan lebih baik.
Contohnya, saat kita pernah mengunjungi iklan brand sepatu, maka kita membuka toko online/marketplace/media iklan sepatu itu akan muncul terus, itu adalah bentuk personalisasi dari apa yang kita inginkan, selera orang berbeda-beda, tapi teknologi era sekarang sudah lebih baik dan bisa memetakan selera seseorang berdasarkan apa yang mereka lakukan setiap harinya, apa yang mereka baca, apa yang mereka sukai disosial media, hingga kemana saja mereka pergi, teknologi handphone adalah sumbernya dan mereka tahu apa yang kita sukai (interest).
Sehingga, mungkin meyakinkan konsumen dengan tangan kosong akan lebih sulit kita seperti menjual kucing dalam karung dan berharap orang yang tidak kita kenal yakin bahwa itu kucing berwarna orange. Pertanyannya, siapa yang menjual? apakah dia terlihat meyakinkan? itu jika kita bertemu langsung, lalu bagaimana jika kita melalui gambar dan gambar itu tidak bisa bergerak, hanya ada gambar, foto dan harga, lalu pemilik bisnis berharap konsumen membelinya.