“Baik (good) adalah musuhnya hebat (great).”
~ Jim Collins~
Siapa saja yang ingin menjadi orang hebat tidak cukup hanya dengan meresa dirinya baik. Orang yang merasa baik, sulit menjelma menjadi orang hebat. Sama halnya dengan orang yang hanya sibuk dengan hal-hal biasa dan kecil, dia tidak akan pernah merasakan hal-hal luar biasa dan besar.
Orang hebat itu, orang yang tekun dan tidak pernah berhenti belajar, dari waktu ke waktu, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun. Dan, seseorang tidak akan pernah mau belajar jika dia sudah merasa dirinya baik. Orang yang tidak mau belajar, tidak akan pernah menjadi orang hebat.
Memang, terkadang merasa bodoh itu perlu, bahkan sangat perlu. Orang yang merasa dirinya bodoh atau merasa pengetahuan yang dimilikinya masih jauh dari kata sempurna, ia akan terus memecut dirinya untuk tekun belajar. Sebaliknya, orang yang merasa cukup, ia akan berhenti, mandek dan statis. Tak ada inovasi sama sekali.
Maka, tidak mengherankan jika orang-orang tempo dulu menganjurkan agar kita tidak mudah merasa puas dan cukup dengan apa yang sudah kita pelajari. Dalam urasan belajar yang mesti didahulukan adalah sifat tamak, sedangkan dalam urasan lain yang dikedepankan adalah sifat kanaah.
Orang yang hari sekarang sama dengan hari kemaren termasuk orang yang sangat rugi. Begitulah dawuh Nabi Muhammad saw. Hal ini menjadi bukti bahwa tidak semestinya kita mejalani hidup ini dengan biasa-biasa saja, tanpa ada keinginan dan mimpi untuk menjalani hidup lebih baik lagi. Ungkapan, ‘sudah terima apa adanya’ adalah pemikiran orang dungu yang mesti segara dienyahkan dari file memori otak kita. Pemikiran semacam itu adalah penghambat bagi diri kita untuk menjadi orang baik dan hebat.
“Kalian meskipun sudap pintar jangan pernah merasa pintar. Orang yang merasa pintar akan malas belajar,” pesan guru ngaji saya. Orang yang merasa pintar mudah dihinggapi sifat sombong. Orang yang sombong tidak akan pernah mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Orang-orang bijak berujar, “Tidak akan pernah mendapatkan ilmu orang yang sombong dan orang pemalu”.
So, pantas saja ulama-ulama tempoe dulu enggan berhenti belajar. Meskipun kapasitas keilmuan mereka telah diakui oleh banyak kalangan, namun tetap saja hal itu tidak menyurutkan sedikit pun semangat mereka untuk tekun belajar. Seperti Imam An-Nawawi, yang tak sempat mencicipi ‘madu wanita’ lantaran kesenangan beliau mutholaah dan belajar. Sehingga tidak mengherankan jika beliau menjadi orang hebat yang namanya dicatat olehtinta emas sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H