Entah apa yang ada di dalam pikiranmu. Akhir-akhir ini kamu banyak bertanya. Kenapa kamu begini, kenapa begitu, kenapa, kenapa, dan seterusnya. Pertanyaan semacam inilah yang selalu meluncur deras dari bibirmu, bak air bah yang menimpa kaum Nabi Nuh as dulu. Andai aku mencatatnya, mungkin lebih dari seribu kali kamu mengajukan pertanyaan yang diawali dengan kalimat ‘kenapa’. Ada apa denganmu?
Apakah kamu lupa kalau aku juga manusia sama seperti dirimu? Aku bukan batu yang tak memiliki perasaan. Aku bukan anjing yang harus taat pada perintah sang tuan. Aku ini manusia. Bisa merasakan sakit, pun pula bahagia. Pernakah kau berpikir dengan perspektif orang lain dan tidak dengan perspektif dirimu? Pernakah kau melepaskan hatimu dan menggantinya dengan hati orang lain? Cobalah sesekali.
“Kenapa sih kamu jarang nelpon” tanyamu pada suatu hari. Tepat pada saat musim kemarau merajai musim. Panas, gerah dan segala ketidaknyamanan sedang bersamaku. Dasar.
“Apa kamu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Kamu berubah” lanjutmu dengan nada ketus. Bikin suasana semakin panas. Padahal aku masih belum sempat menjawab pertanyaanmu. Kamu udah nerocos. Aku tertegun bingung, kamu larang aku bertanya ini dan itu. Sementara kamu selalu menghujamku dengan pelbagai pertanyaan ilogis. Sebenarnya, apa yang kau inginkan? Ah, tak dapat dimengerti. Tak terjangkau nalar. Dan perih dihati.
Tak bisakah kau cari terlebih dulu prihal aku tak menghubungimu, sebelum kau menuduhku dengan tuduhan ilogis yang tak pernah terbukti benar tidaknya. Jika kamu tidak suka dicurigai, aku pun setali tiga uang denganmu. Tidak jauh. Cobalah kau edarkan pandangan ke sekelilingmu, agar kamu tahu kalau kebanyakan orang memang tidak pernah senag dicurigai. Pun pula dengan diriku.
Pertanyaanmu itu bagaikan silet yang menguliti hatiku sedikit demi sedikit. Sakit. Perih. Apa memang kamu menghendaki semua ini menimpa diriku? Ah, tidak. Aku tidak mau berburuk sangka. Aku tidak tahu sebenarnya.
Apa mungkin sikapmu itu karena kamu terlalu mencintaiku? Tapi, sayang, bukankah sudah aku katakan kalau aku tidak menginginkanmu menjadi yang terbaik dalam mencintaiku. Tidak. Sifat seperti itu hanya akan memantikkan api ketidakjujuran dalam dirimu. Semua sifat baikmu hanya basa-basi karena tak bersumber dari kedalaman hati. Mengada-ngada.
Aku hanya ingin kau mencintaiku dengan ikhlas. Orang yang mencintai orang lain dengan ikhlas, ia akan tampil apa adanya. Sederhana. Ia juga akan menerima pasangannya apa adanya. Tidak neko-neko. Tidak mudah nanya ini dan itu. Dalam dirinya telah tumbuh sifat kepercayaan yang sebenarnya. Kepercayaan yang berasal dari dalam hati terdalam. Kepercayaan itu tumbuh kokoh seperti karang. Tak goyah diterpa angin dan tak runtuh dihujam ombak ganas. Walau berkali-kali. Indah bukan?
Ketika cinta kita pupuk dengan kepercayaan kokoh, badai apapun tak mampu membuatnya roboh. Awet. Bahkan lebih awet dari makanan yang dicampur formalin itu.
“Aku tidak punya pulsa. Mau beli uang tak punya” jawabku. Meski aku tahu jika kamu tidak akan pernah percaya dengan jawaban itu. Kau memang selalu begitu. Aku maklum. Hanya kau seorang, penanya yang tak butuh jawaban. Membingungkan.
Ah, lebih baik kita putus saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H