“Rabbanâ atinâ fî ad-dunyâ hasanah wafî al-akhîrah hasanah”.
~Al-Qur’an Karim~
Selama ini tidak sedikit orang yang mempunyai pandangan stereotipe, dikotomisasi antara dunia dan akhirat. Orang yang lebih memilih urusan dunia berdalih bahwa kita sudah semestinya menjalani hidup kita saat ini. Perihal urusan akhirat, kita urus nanti. Sebaliknya, orang yang lebih cenderung pada kehidupan ukhrawi beralasan bahwa hidup di dunia hanya sementara, sedangkan hidup di negeri akhirat itu untuk selamanya. Atau dengan kata lain, tak apalah sensara di dunia, yang penting di akhirat kelak sejahtera.
Padahal dalam Islam tidak dikenal istilah dikotomisasi semacam itu. Urusan dunia dan akhirat sama-sama penting. Dunia adalah ladang akhirat. Orang yang sukses menggarap ladang tersebut, dan menanaminya dengan benih-benih berkualitas, ia akan memanen hasil yang tak terhingga dan tidak dapat dibayangkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sedikit banyak agama Islam memang lebih mentitikberatkan pada kehidupan di negeri akhirat. Dan, hal itu tidak bisa dijadikan justifikasi bahwa Islam tidak respek sama sekali pada kehidupan dunia. Justru sebaliknya. Lho kok? Sebab, Islam menamsilkan akhirat dan dunia dengan padi dan rumput. Saat kita menanam padi, pasti rumput akan ikut tumbuh bersamanya. Tetapi, ketika kita menanam rumput, sampai kapan pun padi tidak akan pernah tumbuh bersamanya.
Di samping itu, dunia bukanlah tujuan tapi hanya sarana (wasilah). Sehingga tidak benar apabila dunia dijadikan tujuan. Dunia adalah tunggangan. Orang yang di dunia tidak ‘sukses’, jangan harap di akhirat dia akan ‘sukses. Tetapi, orang yang di dunia ‘sukses’ kemungkinan besar di akhirat dia akan ‘sukses’ pula.
Jadi, Islam tidak pernah memarginalkan kehidupan dunia. Hanya saja, ada pemilahan antara sesuatu yang mesti didahulukan dan sesuatu yang tidak harus didahulukan. Islam berusaha mengarahkan umatnya agar tidak salah memilih. Jika pilihan kita salah, petakalah yang akan mendera kita. Islam hanya ingin yang terbaik bagi pemeluknya. Itu saja.
Syahdan, Nabi Yusuf as pernah ditawari tiga hal, yaitu ilmu, harta dan tahta. Dan, Nabi Yusuf as lebih memilih ilmu ketimbang harta dan tahta. Karena, ilmu lebih penting. Dengan ilmu, apapun bisa diraih, harta dan tahta sekalipun. Terbukti, dengan memilih ilmu, Nabi Yusuf justru bisa memperoleh ketiganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H