Pengangguran adalah salah satu permasalahan tak berkesudahan di berbagai negara, terutama negara-negara berkembang. Pada Februari 2016, data BPS menunjukkan terdapat 7 juta orang pengangguran terbuka, yaitu mencapai 5,5% dari total penduduk Indonesia. Meskipun angka ini lebih kecil dibandingkan Agustus 2015 yang mencapai 6,18%, faktanya Indonesia tidak dapat lepas dari angka lima hingga enam persen tingkat pengangguran dalam kurun 5 tahun belakangan. Berbeda dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia (3,5%), Hong Kong (3,4%), Singapura (2,10%), dan Thailand (1,20%).
Tingginya angka pengangguran dapat diindikasikan kurangnya kegiatan produksi yang berlangsung di suatu negara. Negara-negara seperti Thailand dan Malaysia saat ini mengukuhkan diri menjadi pusat industri ASEAN, terutama dalam produk otomotif. Ditambah lagi dengan banyaknya brand-brand terkenal yang memilih lokasi pabriknya di Thailand. Hal ini tentu saja secara signifikan menggerakkan kegiatan produksi di Thailand, yang secara langsung berdampak kepada tingkat pengangguran yang semakin mengecil.
Bukan tanpa alasan pengangguran dianggap sebagai core problem dalam sebuah negara. Lebih jauh, agama Islam membahas permasalahan kerja secara serius. Manusai diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi. Khalifah yang dimaksud adalah sebagai pengatur segala hal yang ada di bumi, termasuk hewan, tumbuhan, dana lam yang tersedia. Dengan demikian, penciptaan manusia bukanlah semata-mata sebagai agen ibadah, melainkan harus melaksanakan tugas untuk mengatur segala hal yang ada di bumi.
Salah satu cara untuk mengatur tersebut adalah dengan kegiatan produksi. Hal ini diungkapkan dalam beberapa ayat, antara lain; Q.S. al-Jumuah : 10, Q.S. al-A’raf : 10, Q.S. an-Naba’ : 11, Q.S. al-Mulk : 15 dan Q.S. al-Muzammil : 20. Kelima ayat tersebut menyatakan bahwa bekerja adalah sebuah perintah yang harus dilaksanakan setelah menjalankan ibadah. Bumi adalah lapangan yang dipenuhi dengan rezeki di atasnya, maka manusia diperintahkan untuk bertebaran untuk mencari rezeki tersebut guna memperoleh karunia dari Allah swt.
Salah satu pemikir ekonomi Islam, Muhammad bin al-Ahsan bin Zufar al-Syaibani (dikenal dengan Imam al-Syaibani) memaparkan banyak hal tentang kerja atau usaha di dalam kitabnya al-Kasab, yang ditulis pada akhir abad ke-tujuh Masehi. Kitab tersebut kemudian diikhtisar oleh muridnya dengan judul Kitabul Iktisab fir Rizqil Mustathob (Buku tentang Bekerja dan Rezeki yang Baik). Al-Kasab mengemukakan kajian mikroekonomi yang fokus kepada panduan bekerja untuk memperoleh hasil yang halal, sehingga menelurkan kehidupan yang damai dan indah.
Al-Syaibani mengidentikkan al-Kasab (kerja) dengan kegiatan produksi yang bertujuan untuk memperoleh harta melalui cara yang halal. Sacara umum, kegiatan produksi dilakukan sebatas untuk menambah nilai-guna suatu barang atau jasa. Dalam konsep Islam, barang dan jasa disebut memiliki nilai-guna jika mengandung kemaslahatan. Tercapainya kemaslahatan adalah bentuk keberhasilan perlindungan terhadap lima pokok kehidupan yang harus dipertimbangkan dalam melaksanakan kegiatan apapun, yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sehingga, segala kegiatan produksi tidak terbatas pada tujuan memaksimalkan keuntungan semata, melainkan menggandengkan tujuan tersebut dengan filosofi kehidupan menurut Islam, yaitu ketaatan kepada Sang Pencipta.
Filosofi kehidupan Islam yang perlu diinput ke dalam kegiatan produksi adalah konsep mu’awanah, yaitu saling tolong menolong. Konsep ini telah diterapkan oleh Jepang dengan model industri hulu dan hilir. Industri hulu adalah industri yang mengolah bahan mentah hasil produksi sektor primer. Sedangkan industri hilir adalah industri yang mengolah lebih lanjut hasil industri primer. Dengan konsep tersebut, setiap industri menjadi terkait, saling membutuhkan, gotong royong, dan saling membantu. Konsep ini kemudian meminimalkan self-interest dan dominannya egosentris dalam kegiatan produksi antar industri.
Di dalam al-Kasab, diterangkan bahwa hukum melaksanakan usaha produktif adalah fardhu ‘ain, yaitu setiap orang yang memiliki kemampuan untuk berusaha, wajib untuk melaksanakan usaha produktif. Karena ia membutuhkan usaha tersebut untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang wajib ditanggungnya, seperti anak, istri, dan orang tua. Secara eksplisit, bekerja untuk mencari harta yang digunakan untuk kemaslahatan diri sendiri dan dibelanjakan di jalan Allah itu hukumnya wajib. Karena itu, mestinya generasi Muslim adalah generasi yang mampu menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan yang tinggi. Menjadikan hasil usaha yang berupa karya dari tangan sendiri adalah suatu kebanggan.
Imam al-Syaibani telah mengemukakan persoalan yang berkaitan dengan division of labor hampir 900 tahun lebih dulu dari pada Adam Smith yang dianggap sebagai Bapak Ekonomi Dunia. Teori ini disebut taqsim al-‘amal dan berdasarkan pada dua kondisi, yaitu; keterbatasan usia dan kemampuan manusia sebagai individu. Sehingga individu dituntut untuk profesional dalam bidang yang menjadi tanggung jawab pekerjaannya. Dengan hal ini, diharapkan terciptanya pertumbuhan output, dan tercapainya pertumbuhan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, bekerja adalah sebagian lain dari tugas manusia di bumi setelah mekasanakan ibadah. Tidak ada alasan ibadah menghalangi untuk bekerja, dan begitupun sebailknya. Ekonomi Islam tidak sebatas membahas perbankan syariah, riba, dan produk-produk keuangan lainnya. Al-Kasab serta pemikiran tokoh ekonomi Islam lain menerangkan pada kita bahwa terdapat hubungan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan antara aspek ekonomi, bisnis, dan keuangan, dengan pokok-pokok ajaran Islam. Dengan menyatunya komponen Islam dan duniawi, diharapkan pengusaha Muslim dapat memperlihatkan kinerja produksi yang lebih baik dibanding yang lainnya. Pembedanya adalah menggandengkan maksimum profit dengan keridhaan Allah swt dalam usaha tersebut. Jika prinsip-prinsip bekerja dalam al-Kasab ini diterapkan pada diri masing-masing Muslim, tidak mustahil rasanya tingkat pengangguran Indonesia mencapai angka satu bahkan nol persen.
“Kehidupan bahagia dijaminkan untuk mereka yang bekerja dan tidak membuang waktu dengan berdiam diri.” – Afzalur Rahman