[caption id="attachment_416990" align="aligncenter" width="300" caption="Perjalanan"][/caption]
Mendaki gunung tengah menjadi trend bagi kawula muda untuk menunjukkan eksistensi diri. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir jalur pendakian selalu ramai diminati di akhir pekan, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Terlebih dengan kemunculan film 5 CM yang menghipnotis para muda untuk semakin tertantang melakukan pendakian. Gunung yang didaki pun bermacam-macam, sesuai dengan usia dan kemampuan si pendaki, mulai dari 1500 hingga di atas 3000 mdpl.
Saya pribadi sebenarnya tergolong awam dalam hal pendakian. Gunung pertama yang saya daki adalah bukit kecil kurang dari 500 mdpl (baca: meter di atas permukaan laut), ketika berusia empat tahun, tepat berada di depan rumah famili. Seiring dengan berjalannya waktu, ketika berkunjung ke Dieng, tak sengaja saya mencoba menikmati sunrise di bukit Sikunir. Hawa dingin yang menyelimuti sempat membuat saya berpikir tak akan kembali lagi mendaki.
Namun setelah itu, seorang teman mengajak kembali untuk mendaki Gunung Ungaran, gunung yang dekat dengan lokasi belajar saya saat ini. Tawaran demi tawaran semakin berdatangan, terlebih setalah saya KKN di lereng Gunung Merbabu. Saat itu, salah satu rekan saya juga anggota salah satu Mapala di kampus kami. Dia mengajarkan banyak hal tentang arti sebuah pendakian. Gunung Andong menjadi pendakian pertama bersama rekan KKN, hingga kemudian kami diberi kesempatan untuk menapakkan kaki di Kentheng Songo, puncak Merbabu.
Selepas KKN, jiwa saya semakin tertantang untuk terus mendaki. Pendakian bersama teman telah mengantarkan saya pada puncak kepuasan. Berbagai pelajaran dan falsafah kehidupan saya dapatkan melalui pendakian. Jujur, semasa SMA saya berbeda dengan remaja kebanyakan yang bangga dengan hobinya. Saya merasa tidak memiliki hobi, karena semua saya lakukan dengan perasaan yang biasa saja, nothing special.
Satu-satunya hal yang membuat saya merasa click dengan mendaki adalah kegemaran saya berpetualang. Saya senang menjelajah beberapa kota, mengekslorasi dan berjalan seorang diri hanya berteman tas ransel dan botol air minum. Mendaki juga hampir sama, bedanya, mendaki memerlukan persiapan fisik dan materi yang matang. Terbiasa dengan berjalan seorang diri, saya cenderung individualis, namun saya aware jika harus bergabung dalam kelompok. Berpetualang menyusuri kota seorang diri di waktu kecil menjadi pilihan, karena interest saya berbeda dengan teman-teman. Jika mereka suka berjalan-jalan untuk sekedar menonton, berbelanja atau mencari tempat untuk bermain game, lain halnya dengan saya yang puas hanya dengan berjalan-jalan menyusuri lorong-lorong sempit.
Saya pernah mengajak teman saya untuk menyusuri situs Kota Lama di Semarang, hingga mencari Masjid atau langgar tua, yang dibangun sebelum Masjid Agung Kota Semarang (Johar). Karena terlalu asyik, saya tak sadar kalau teman saya merasa lelah. Ternyata kegemaran saya, mampu menyikasa rekan saya.haha.
Kembali pada mendaki. Pendakian hampir sama dengan kegemaran lama saya, yang saat ini keren disebut bakcpacker. Cukup ditemani satu atau dua orang, saya sudah bisa mendaki, menyusuri gelapnya malam, menggigil di tengah dinginnya hujan, hingga terpana akan sunrise. Karena saya begitu menikamati pendakian, hampir setiap orang yang mengajak, selalu ada kata “iya/oke” yang terucap. Bahkan sering menjelang maghrib teman saya baru memberi tahu kalau lepas isya akan mendaki.
[caption id="attachment_416994" align="aligncenter" width="300" caption="Perjalanan Ceria"]
Now, I do love this hobby! Seperti yang tadi saya katakan, mendaki mengajari saya banyak hal. Kita dituntut untuk disiplin dalam melakukan persiapan baik fisik dan materi, juga terhadap rundown yang kita susun demi pendakian yang safety. Kita juga mendapat pelajaran memimpin maupun dipimpin, percaya satu sama lain, dan menjadikan pribadi lebih jujur tentang apa yang dilihat dan dirasakan. Kita belajar makna dari kepedulian, dimana sebagai anggota tim kita berangkat dan pulang bersama, berbagi memikul beratnya beban dan mengulurkan tangan di setiap kesulitan. Pendakian yang tak selalu mudah, menjadikan kita pribadi yang tenang, semua kesulitan ada cara untuk mengatasi dengan tetap menjaga ketenangan. Kesulitan yang dikeluhkan teman juga menjadikan kita lebih hebat dalam memberi motivasi, membuat lelucon dan menjadikan semakin tabah menghadapi kesulitan.
[caption id="attachment_416995" align="aligncenter" width="300" caption="Bersyukur atas nikmatNya"]
[caption id="attachment_416999" align="aligncenter" width="300" caption="Merbabu View"]
Fokus kami hanya satu, menuju puncak. Namun jika gagal, bukan berarti kami tidak fokus, namun kami akan semakin tertantang dan merasa berhutang untuk kembali. Kami akan belajar dan mengevaluasi diri.
Hingga kini, kebanggaan terbesar yang saya dapatkan dalam pendakian adalah mendaki dengan pemula, dan kemudian menjadikan mendaki sebagai hobi barunya. Menyaksikan pemula tersenyum mencapai puncak, terpana menatap sang surya, dan kemudian bertanya, “Kapan kita mendaki lagi?” itulah pertanyaan dan kebanggaan tiada tara yang saya dapatkan. Terlebih dengan dia menyerap ilmu pendakian yang saya ajarkan. Dengan selalu memungut sampah di setiap perjalanan pulang, dan tidak merusak tanaman/hewan sekitar.
Sekian, Salam lestari....
Avignam Jagat Samagram...
[caption id="attachment_416996" align="aligncenter" width="300" caption="Puncak Bahagia"]
Teruntuk teman yang baru saja menapak Ungaran sebagai gunung pertama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H