Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, maka perihal perkawinan yang dibahas berikut ini adalah mengenai perkawinan sebagaimana yang diatur oleh konstitusi. Dasarnya adalah Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945). Artinya, keputusan atau kebijaksanaan yang berkaitan dengan rakyat harus didasarkan oleh UUD NRI 1945, yang berasaskan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm (norma yang paling mendasar).
Berdasarkan kaidah-kaidah yang telah berlaku selama ini, Indonesia menggunakan penggabungan 2 sistem hukum, yakni Statute Law System dan Common Law System. Penggunaan Statute Law System dapat dilihat dari syarat pengkodifikasian hukum untuk dijadikan dasar hukum dalam bertindak, dan semuanya itu dituangkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Kemudian disebut mengikuti Common Law System dapat dilihat dari penggunaan kebiasaan-kebiasaan maupun tradisi yang telah turun temurun berlaku hingga saat ini. Keberadaan Statute Law System dan Common Law System di Indonesia merupakan sisi keunikan Indonesia dalam mencomot teori-teori yang telah dikemukakan para ahli-ahli hukum internasional sebelumnya.
Pada sisi lain, semangat kemanusiaan di Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Awalnya terhadap terpidana, sebagaimana yang digagas oleh Sahardjo dengan nama Sistem Pemasyarakatan pada tahun 1964. Setahun kemudian nama penjara dan dinas kepenjaraan berubah menjadi Pemasyarakatan. Meskipun telah mengalami pergantian Presiden, sistem pemasyarakatan baru diundangkan pada tahun 1995 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Kemudian pada tahun 1999, Indonesia telah meratifikasi Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), meskipun setahun sebelumnya sudah diatur dalam Tap MPR. Selanjutnya, Indonesia semakin kencang meneriakkan hak asasi manusia hingga kini, kendati penerapannya masih belum optimal. Tidak hanya sampai di situ, semangat kemanusiaan tersebut semakin melebar sebagaimana yang digaungkan oleh Satjipto Rahardjo melalui “hukum progresif”-nya.
Terkait dengan kemanusiaan, perkawinan merupakan hak asasi manusia yang telah diatur oleh konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan merupakan bagian dari proses pertumbuhan dan perkembangan suatu negara melalui unit yang terkecil. Pengaturan mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Di dalam UU Perkawinan, yang diatur adalah perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, sebagai sebuah ikatan perdata. Artinya, UU Perkawinan bukan diadakan untuk agama atau keyakinan tertentu. Namun sebagian banyak orang beranggapan bahwa UU Perkawinan hanya untuk mereka yang beragama Islam, dan dasar hukum bagi yang non-Islam ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengaturan mengenai perkawinan secara Islam telah diatur dalam ketentuan lainnya, yaitu Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Inpres KHI). Perlu ditegaskan bahwa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 UU Perkawinan, pengaturan mengenai perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BAB IV-nya) dinyatakan tidak berlaku. Ketidakberlakuannya pun sudah sejak tahun diundangkannya UU Perkawinan tersebut.
Menurut UU Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal tersebut didasari oleh Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Kemudian hal itu dipertegas lagi sebagaimana dengan yang diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Kemudian dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Jadi menurut UU Perkawinan, seorang pria dan seorang wanita dianggap sah sebagai sebuah suami istri jika perikatan itu dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Sehingga ketentuan yang diatur tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan pasangan yang berbeda agama? Jika berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, jawabannya adalah tidak bisa. Karena meskipun ada frasa hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, pendapat umum yang berlaku adalah masing-masing hukum agama yang berlaku di Indonesia mengharuskan kesamaan agama dan kepercayaan untuk hal perkawinan.
Lalu, bagaimana menurut konstitusi? Dalam UUD NRI 1945 tidak mengatur dengan tegas mengenai keharusan kesamaan agama dalam perkawinan. Malah memberikan kebebasan dan perlindungan kepada tiap-tiap insan warga negara Indonesia. Dasarnya dapat dilihat dalam Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 di atas, yang kemudian dipertegas lagi oleh Pasal 28J bahwa 1) setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; 2) dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Mengenai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang dikaitkan dengan Pasal 28B ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945, akan timbul beberapa pertanyaan seperti: Apakah ada orang yang dirugikan jika pasangan itu kawin berbeda agama? Jika ada, seperti apa kerugiannya? Selanjutnya jika ada, bagaimana dengan kerugian yang dialami orang yang akan kawin menjadi terhambat (atau bahkan gagal) karena harus memperhatikan orang di sekitarnya (berupa ancaman sosial)? Dan apa dampak negatif bagi orang yang merasa dirugikan itu? Jika tidak ada yang dirugikan, apa dan bagaimana bentuk pelayanan negara terhadap warga negaranya yang ingin kawin beda agama? Jika seorang berpindah agama lantaran ingin kawin dengan orang lain karena ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, apakah bisa disebut bahwa negara secara halus telah membuat warga negara tidak merasa bebas memeluk agama dan keyakinannya? Sedangkan kebebasan beragama merupakan kebebasan individual yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk negara yang mempunyai otoritas tertinggi. Hal tersebut tentu termasuk juga dengan perihal kebebasan membentuk keluarga bagi tiap-tiap warga negara.
Untuk pertanyaan kesatu, kedua, dan keempat jawabannya sangat subyektif, dan orang yang merasa dirugikan itu juga harus memperhatikan kerugian yang dialami oleh pasangan beda agama yang ingin kawin. Sedangkan pertanyaan nomor tiga merupakan tembok obyektif yang mencoba menghambat eksistensi subyektif yang selalu ingin berkehendak semaunya. Pertanyaan ketiga merupakan argumentum a contrario dari argumentasi subyektif yang merasa sebagai wakil agama dan harus diperhatikan. Sedangkan kebenaran hakiki mengenai agama dan kepercayaan adalah milik si Esa atau Tuhan itu sendiri, sebagaimana yang diyakini bahwa agama merupakan berasal dari Tuhan, dan ayat-ayat suci di dalam kita suci pun diyakini bersumber dari Tuhan. Siapa yang bisa menafsirkan keinginan Tuhan? Kalaupun ada yang berani menafsirkan, tentunya hasil tafsirannya itu bersifat sementara, karena masih harus menunggu verifikasi Sang Empunya. Kalau menunggu verifikasi, siapa yang mempunyai kemampuan untuk menghadirkan Sang Empunya ke hadapan dan memberikan verifikasi atas problematika tafsiran ayat suci tersebut? Argumentasi pendukung lainnya adalah bahwa negara memiliki struktur yang jelas sehingga ada regulator hingga eksekutor, sedangkan agama tidak memiliki struktur sebagaimana yang berlaku bagi negara. Puncak kedaulatan negara ada pada rakyat, sedangkan puncak kedaulatan agama adalah pengakuan dan penundukan tiap-tiap individu yang berpuncak pada Sang Pencipta sebagai pemegang hierarki tertinggi.