Mengenai perkawinan beda agama, dapat ditemukan dalilnya dalam al-Maidah 5, yang menyebutkan bahwa “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mas kawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman maka sungguh-sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi”. Secara keseluruhan, ayat tersebut berbicara tentang hubungan atau interaksi, dan juga banyak berbicara tentang Isa al-Masih. Jika dalam lingkungan teks di ayat tersebut, dihalalkan untuk menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman, sehingga terdapat kekosongan hukum terhadap perempuan-perempuan yang beriman tapi tidak menjaga kehormatan. Perihal “beriman” tentunya sudah jelas, tapi perihal “kehormatan” masih luas maknanya. Perihal “kehormatan”, jika dilekatkan kepada perempuan, maka hal itu berkaitan dengan keperawanannya. Pada sisi lain, bisa juga dikaitkan dengan kehormatan-kehormatan lainnya seperti kehormatan keluarganya.
Untuk “kehormatan” yang berkaitan dengan keperawanan, tentu akan akan menjadi siksa bagi perempuan beriman yang keperawanannya hilang sebelum pernikahan. Hilangnya keperawanan itu bisa dari 2 aspek, yaitu melepaskan dengan sukarela (seks di luar nikah) dan tidak dengan sukarela (diperkosa). Jika terkunci pada ayat ini, maka akan menjadi keluhan bagi perempuan yang diperkosa. Pun juga bagi perempuan yang tidak diperkosa yang kemudian setelah itu ia bertobat. Atas dasar kasih Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang, tentu masih ada dalil lain (mungkin semacam ijtihad) memperbolehkan untuk menikahi perempuan-perempuan tersebut.
Kemudian terhadap perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum Alquran. Jika terikat teks, maka ketentuan tersebut hanya untuk di masa saat ayat itu diturunkan. Namun jika ke konteks, maka perempuan-perempuan yang dimaksud adalah perempuan-perempuan yang menganut agama dari kitab sebelum Alquran, ambil saja contohnya adalah perempuan Nasrani. Jika ia perempuan Nasrani yang menjaga kehormatan, maka ia boleh dinikahi.
Jika bersandarkan pada teks kitab suci mengenai perkawinan harus seagama, bagaimana jika digunakan pendekatan “kenapa ayat/perintah itu diturunkan?”. Hal ini perlu dipahami karena, perbedaan peradaban pada masa diturunkannya perintah itu dengan peradaban masa kini. Penulis meyakini, bahwa di masa kenabian banyak sekali ajaran/aliran/dogma/agama yang beredar, bahkan hingga saat ini pun masih ada. Pada masa kenabian itu juga, banyak ajaran yang mengajarkan untuk menyembah kepada yang bukan Tuhan (seperti menyembah benda-benda, meskipun beberapa di antaranya memiliki tujuan kepada satu Tuhan yang mungkin saja sama dengan yang mengklaim ajaran agamanya lebih benar). Ayat/perintah itu ditujukan untuk menghindari umat manusia dari penyembahan-penyembahan yang salah. Melalui utusan-Nya, perintah untuk kawin dengan yang seagama itu diberikan agar yang belum menganut agama untuk segera bergabung. Karena sepertinya sudah menjadi konsensus universal bahwa utusan-Nya itu mengajar dan mengajak umat manusia untuk berada di jalan yang benar demi terciptanya ketertiban dalam bermasyarakat.
Kalaupun bicara tentang ayat sebagai satu kesatuan, maka ketentuan yang diatur dalam ayat itu hanya berlaku pada saat ayat tersebut diturunkan, karena frasa awalnya adalah “pada hari ini” dan bukan “mulai pada hari ini”. Artinya, ketentuan yang diatur dalam al-Maidah ayat 5 tersebut hanya berlaku pada hari di saat firman (al-Maidah ayat 5) itu diturunkan.
Kemudian masuk ke dalam konteks ayat tersebut. Perlu dipertanyakan mengenai peradaban yang terjadi saat ayat itu diturunkan. Sudah menjadi hal yang diketahui umum bahwa pada masa kenabian masih banyak umat manusia yang belum beriman seperti yang saat ini. Pada saat itu, menjadi kewajiban untuk mengarahkan umat manusia untuk menyembah kepada Tuhan, bukan kepada sesajian ataupun patung-patung berhala. Kendati hal tersebut masih bisa dianggap sebagai pemaksaan terhadap keyakinan orang lain. Sama halnya dengan masa kini, apakah umat manusia harus memaksakan umat manusia lainnya terhadap satu keyakinan tertentu? Sedangkan di sisi lain, perasaan dan cinta adalah hal yang hakiki diberikan oleh Tuhan, termasuk juga keyakinan. Sifat dari perasaan, cinta, ataupun perasaan itu adalah privat, tiada yang berhak membatasinya.
Di sisi lain, terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1986 dimana majelis hakim perkara tersebut memerintahkan Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta agar melangsungkan perkawinan antara Andi Vony (Islam) dengan Adrianus Petrus Hendrik (Kristen), dan perkawinan beda agama lainnya yang luput dari perhatian kita bersama. Hal tersebut dapat menjadi yurisprudensi bagi pengaturan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan. Apabila menilik pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Presiden pun telah menentang hukum yang ada melalui produk hukum yang tidak termasuk dalam bagian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dimana posisi “Instruksi Presiden”? Kenapa muatan materi dari Inpres KHI tersebut mengatur (regeling)? Di sisi lain, karena Indonesia menganut beberapa agama, kenapa hanya yang agama Islam saja yang ada pengaturan teknisnya secara khusus? Bagaimana dengan agama yang lain? Lalu, bagaimana juga dengan agama atau keyakinan leluhur/lokal yang sudah lama menjadi kekayaan maupun jantung persatuan di Indonesia?
Terhadap kasus Jamal Mirdad dan Lidya Kandou (termasuk juga Anggun Cipta Sasmi dengan suaminya yang berkewarganegaraan Prancis dan beragama non Muslim) yang harus melaksanakan perkawinan di luar negeri agar masing-masing dari mereka tidak berpindah agama, tentu dapat dijadikan “PR” tersendiri bagi pemerintah. Di mana tanggung jawab pemerintah/negara terhadap warga negaranya yang ingin kawin beda agama? Sedangkan jika warga negara yang berbeda agama kawin di luar negeri dan kemudian kembali ke Indonesia dianggap sebagai sebuah perbuatan “penyelundupan hukum”.
Jika berbicara lebih kritis (lagi) terhadap jiwa kepemilikan atas apa yang telah diproduksi di Indonesia, tentu akan menjadi pertanyaan besar terhadap perlindungan bagi warga negara yang masih memeluk keyakinan lokalnya sendiri. Sebagai contoh, di tanah batak ada agama Parmalim, kemudian di Sulawesi ada agama Boti, di Jawa ada keyakinan yang dianut oleh masyarakat Tengger, dan lain sebagainya. Sampai-sampai mereka harus terpaksa berpindah keyakinan hanya karena untuk mendapat status kependudukan. Keyakinan-keyakinan tersebut memang menunjukkan fisik ritual yang melakukan penyembahan terhadap suatu barang, tapi secara esensi dan tujuan dari ritual itu adalah mereka sedang melakukan penyembahan terhadap Tuhan yang esa. Di sisi lain, agama-agama yang diakui di Indonesia pun merupakan “produk impor”.
Memang, zaman modern saat ini sudah menyatukan keberadaan filsafat dengan ajaran fundamental agama. Meskipun masih ada riak-riak kecil di berbagai daerah yang memisahkan dengan jelas antara keduanya, sehingga menimbulkan beberapa kaum previlleges, seperti FPI maupun organisasi-organisasi kemahasiswaan/kepemudaan yang menganut aliran marxisme. Sebagaimana yang telah diutarakan oleh Mahfud MD dalam bukunya Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, bahwa akal pikiran sebagai sumber kebenaran ilmiah bukanlah segala-galanya, karena akal pikiran manusia terbatas dan tak mungkin mampu menjawab segala-galanya sehingga dalam suatu hal (atau batas tertentu) manusia harus mencari kebenaran bukan melalui akal pikiran melainkan melalui wahyu, petunjuk Tuhan. Sebelumnya pun Abdurahman Wahid (Gusdur) dalam makalahnya yang pernah dipublikasikan dalam studi akidah di UII yang bersamaan dengan perayaan Natal tahun 1985 tentang Tradisi Keilmuan dalam Islam, bahwa pengembangan ilmu pengetahuan harus diorientasikan pada upaya membina keselamatan umat manusia, tidak boleh merusak. Keberadaan pendapat akan mengalami fluktuasi mengenai keunggulannya, tergantung peradaban yang ada saat itu, bahkan bisa saja berimbang. Dengan didasari kelemahan manusia terhadap maksud Ilahi, biarkan saja Ilahi yang menunjukkan sesuai kehendakNya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H