Ketika di pesantren, kita dikenalkan dengan istilah khidmat yang bermakna takzim, hormat, dan pengabdian. Maksud pengabdian di sini adalah melakukan segala sesuatu untuk yang dikhidmati (kiai, pesantren, agama, dan bangsa) tanpa pamrih sedikit pun, yang kemudian hal ini disebut lillhi ta'l. Begitulah memang seharusnya prinsip seorang santri: mengabdi tanpa pamrih.
Bagaimana penerapannya? Saya tidak bisa melihat hati siapa yang melakukan sesuatu lillh dan siapa yang bertindak li-l-syai'in khor. Yang pasti, hal itu sangat ditekankan di pesantren.
Sekian tahun ditempa di lingkungan seperti itu, dengan konsep khidmat yang kental, meski tidak sepenuhnya lillh, alam bawah sadar (subconscious) saya tetap memerintah untuk melakukan segala hal tanpa pamrih. Oleh sebab itu, saya terkadang agak kikuk ketika membantu seseorang, lalu tiba-tiba orang itu memberi uang atau sesuatu. Jadi, hal yang sering terjadi adalah perdebatan antara butuh uang dan ketidakpamrihan. Di sebuah sisi memang saya lagi pengin pegang duit, di sisi lain itu bukan sesuatu yang mesti diupahi (menurut saya).
Pernah suatu ketika membantu orang sampai berlumuran keringat, jadi wajar kalau si terbantu memberi upah sekian uang. Saat si terbantu menyodorkan upah, saya kikuk, apalagi melihat nominalmya yang cukup besar bagi saya. Kikuk karena memang dari awal tidak niat untuk itu.
Jadi, bagi santri, membantu orang lain tanpa diberi imbalan bukan lah sebuah masalah. Mereka sudah terbiasa dengan hal-hal sepeeti itu. Namun, hal yang mesti diingat adalah: santri itu perutnya lapar terus. Makanya, memberi mereka (baik sebagai imbalan atau sedekah) merupakan sebuah kemaslahatan.
21.2.21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H