Mohon tunggu...
Muhamad Romli
Muhamad Romli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar Yang Tak Kunjung Pintar

Mahasiswa semester 4 jurusan Ilmu Hukum universitas Singaperbangsa Karawang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rumah Bordil di Red Light District

5 Maret 2021   08:56 Diperbarui: 6 Maret 2021   00:11 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Membaca-baca tentang rumah bordil dan para pekerjanya di De Wallen, Belanda, ternyata menarik juga. Pasalnya, fakta terkait pekerja seks komersial di rumah-rumah bordil di Kawasan Lampu Merah itu sangat jauh berbeda dengan rumah bordil Mama Kalong dalam novel Cantik Itu Luka—saya tau novel ini fiksi, tapi setidaknya apa yang digambarkan Mas Eka tidak jauh berbeda dengan kenyataan rumah bordil di negeri kita.

Di De Wallen, pekerja seks diperlakukan sebagaimana pekerja pada umumnya. Artinya, mereka mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja yang legal, seperti dapat menolak penyewa, mengadukan kekerasan, mendapatkan pengamanan, mendapatkan bayaran langsung (tidak melalui prostitusi/germo), dan sebagainya. Selain itu, mereka juga wajib mempunyai izin, membayar pajak, dan mengecek kesehatan yang dibiayi oleh pemerintah.

Kenyataan PSK yang mendapatkan pengamanan dan dapat menolak tentu saja kontras sekali dengan keadaan para PSK di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Di mana para PSK sangar rentan sekali mendapatkan kekerasan fisik dari pelanggannya dan tidak mendapatkan jaminan kemanan, serta sangat sulit menolak atau memilih pelanggan mana yang boleh membelinya karena sistemnya adalah patuh pada germo. Di De Wallen, PSK diperlakukan sebagai partner kerja seperti bertransaksi pada umumnya yang menguntungkan kedua belah pihak dan tidak ada yang dirugikan. Berbeda dengan negara-negara lain yang hampir dari mereka dirugikan terutama soal kekerasan fisik dan pelanggan adalah sebagai seorang raja yang boleh semena-mena terhadap mereka. Ini tentu saja tidak manusiawi.

Selain dijaga hak-hak fisiknya seperti diulas di atas, mereka juga bebas prostitusi. Artinya, mereka bekerja sebagai pekerja seks komersial mandiri, tidak bergantung pada germo.

Di sana, tidak semua orang dapat berporfesi sebagai PSK. Hanya orang-orang yang, istilahnya, lolos seleksi lah yang dapat menjadi PSK. Pasalnya, kelayakan dan kesehatan sangat lah dipertimbangkan. Oleh sebab itu, orang-orang yang berpenyakit menular tentu saja tidak dapat bekerja sebagai PSK. Pun setelah resmi dan mendapatkan izin bekerja di rumah bordil, secara rutin mereka akan dicek kesehatannya, dan itu dibiayai oleh pemerintah.

Jika meninjau ulasan tersebut, kita akan melihat bahwa begitu lah seharusnya manusia diperlakukan. Saya di sini melepaskan dulu kacamata agama. Apa pun jika ditata dengan baik, akan membuahkan hasil yang baik. Meski tentu saja di De Wallen itu ada saja sisi gelapnya. Ya, semua sektor bisnis itu akan ada saja sisi gelapnya. Artinya, tidak sepenuhnya seperti yang saya gambarkan di atas, tapi paling tidak itu bisa diminimalisir.

Memang jika kita melihat dari kacamata agama, ini merupakan sebuah regulasi kemungkaran yang luar biasa yang tentu saja dosanya mengalir bagi seluruh penduduk negeri karena membiarkan kegiatan bla bla bla tumbuh di negerinya. Makanya, saya lepas dulu kacamata itu. Kacamata yang harus digunakan dalam melihat fakta ini adalah kemanusiaan dan kerealistisan. Karena mau haras atau ilegal segimana pun, bisnis seperti ini akan terus ada; terlihat atau pun sembunyi-sembunyi.

Gitu!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun