[caption id="attachment_223840" align="aligncenter" width="465" caption="Ilustrasi/ Admin (tribunnews)"][/caption] Konflik kepentingan antara pekerja dan pengusaha di Jakarta tampak menguat terkait dengan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP). Bagi para pengusaha, UMP paling rasional ada di kisaran 1,9 juta, sedangkan usulan dari Dewan Pebgupahan DKI berada dalam kisaran 2,2 juta. Pengusaha pun berteriak, dan bahkan akan menggugat Jokowi ke jalur hukum, jika mengetuk kebijakan UMP ini. Inilah persoalan pertama bagi Jokowi untuk bisa mengatasi dengan seluruh beban politik dan budaya yang berada di pundaknya, sebagai Gubernur yang memenangkan pertarungan karena dinilai memiliki kepedulian terhadap kelompok miskin. Inilah pertarungan yang sesungguhnya bagi Jokowi dalam memenuhi janji selama masa kampanye. Kita masih merasa yakin, jika persoalan yang merebak masih berada pada seputar sosial, seperti banjir, kemacetan, dan kesehatan, masih akan berjalan mulus tanpa hambatan. Meski bukan berarti persoalannya selesai, tetapi setidaknya tidak ada perlawanan yang perlu dikhawatirkan. Tetapi, ketika persoalannya berdimensi ekonomi, masalahnya pasti akan berbeda. Jakarta, merupakan kota yang sedemikian padat dengan pelaku industri. Sehingga keputusan besaran UMP menjadi bukan hal yang temeh temeh. Sebagai bekas pemimpin di kota kecil Solo ini, tidak bisa main-main dalam mengambil kesimpulan atau menentukan kebijakan UMP, karena efek yang akan ditimbulkan pasti akan jauh lebih rumit ketimbang di Solo. Apalagi selama ini, kepentingan pengusaha selalu yang lebih diutamakan dan dilayani oleh pemerintah dibandingkan dengan kepentingan buruh. Bahkan jika diteliti lebih jauh, pemerintah seringkali berpihak secara nyata terhadap pelaku usaha saat terjadi konflik kepentingan. Dalam konteks seperti inilah Jokowi saat ini harus mengambil sikap tegas untuk membela kepentingan buruh yang sudah meletakkan harapan begitu besar di pundak Jokowi. Atau akan kembali memilih jalan aman, melayani kepentingan pengusaha untuk tetap bisa mengakumulasi kapital sebesar-besarnya. Simalakama, demikian situasi yang tepat untuk menggambarkan posisi Jokowi saat ini. Memenuhi kehendak pengusaha mungkin akan bursa menggalang dukungan para pelaku usaha dalam menjalankan agenda pembangunan selama massa kekuasaannya. Tetapi perlawanan buruh akan menguat, dan akan menjadi rentan karena dibarengi degan kekecewaan, dan tentu saja rasa dikhianati. Sebaliknya, tetap mempertahankan angka 2,2 juta, untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap kaum buruh, akan berhadap-hadapan dengan pelaku usaha. Memang Jokowi akan mendapatkan pujian dan sanjungan dari kaum miskin kota, tetapi pada saat yang sama, kehilangan dukungan dari para pengusaha. Batu sandung yang latin, tentu saja ancaman dari berbagai tindak kekerasan yang bisa dipastikan akan terus menguat untuk tahun-tahun ke depan. Rasa hormat atas keberagamaan telak hancur oleh kepentingan untuk menegakkan kebenarannya sendiri. Situasi laten yang akan selalu muncul, dan akan menjadi tantangan tersendiri bagi Jokowi. Mungkin saja Jokowi memiliki pengalaman politis dalam menghadapi gerakan radikalisasi di kota Solo, tetapi kerumitan dan muatan politiknya tidak akan sama dengan yang terjadi di Jakarta. Banyaknya mega proyek di Jakarta juga akan menjadi pekerjaan rumah bagi Jokowi. Pasalnya, banyak kepentingan yang berputar di sekitarnya. Tidak saja soal para pemenang tender yang nakal, tetapi juga soal yang lebih mendasar, bagaimana proses pelaku usaha bisa memenangkan tender. Karena pasti tidak akan sepi degan perilaku suap, manipulasi dan korupsi. Kita menunggu kemampuan Jokowi dalam menghadapi berbagai batu sandung di hadapannya. Kita menunggu, apakah Jokowi benar-benar pimpinan alternatif sebagaimana banyak disebutkan orang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H