Di dusunku, pembagian daging kurban dilakukan dengan sistem pemerataan. Artinya, tidak penting warga kaya atau miskin, semua dapat dan daging itu dibagi habis, sehingga tak tersisa untuk siapa pun. Tidak ada daging yang dikirim keluar dusun, misalnya untuk mereka yang miskin dan papa.
Apa salahnya dengan kebijakan di dusunku ini? Tidak ada yang salah sebenarnya. Hanya saja jika kebijakan pemerataan ini terus dilakukan, maka ibadah kurban akan kehilangan maknanya. Sebab tidak lagi untuk membahagiakan orang miskin, keluarga fakir, dan anak-anak jalanan, misalnya. Tetapi hanya untuk pesta pora warga dusun, termasuk orang-orang yang sesungguhnya kaya.
Saya hanya berpikir, jika kebijakan seperti di dusunku ini juga diparaktikkan di dusun-dusun yang lain, di negeri ini, maka senyum si miskin dan papa tidak jadi mengembangkan. Sebab ia hanya menelan ludah. Kalau mereka hendak merasakan lezatnya daging kambing, maka harus berkeliling ke dusun-dusun atau ke masjid-masjid untuk meminta bagian.
Kalau tidak demikian, si papa harus kembali menanti kebaikan orang kaya yang mampu mengeluarkan uang banyak untuk membeli kambing-kambing. Lalu, hewan kurban itu dibagikan ke keluarga miskin dengan label-label perusahaan atau partai politik.
Tentu ini akan menjadi ironi dalam hiruk pikuk hari raya kurban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H