Bangsa ini memang bangsa yang amar pintar mencari peluang mendapatkan uang tambahan. Akibatnya, program pemerintah yang dianggap banyak pihak populis, sekolah gratis melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tak memiliki efek bagi orang tua. Mereka masih tetap merogoh kantong, mengeluarkan dana segar untuk mengikuti culas para pendidik di Sekolah Dasar.
Memang benar, memasukkan anak di SD saat ini tidak lagi harus membayar uang bulanan, yang akrab disebut SPP itu. Tetapi, setelah masuk menjadi siswa, mulailah anak-anak membawa berbagai surat resmi dari sekolah, yang isinya tidak lain, berbagai tarikan dana yang harus dibayar orang tua.
Ini pengalaman pribadi sebagai wali murid dari seorang anak usia 7 tahun, di sebuah SD di Jawa Tengah, Indonesia. Setelah anak saya mengikuti tes masuk [yang juga sudah melanggar UU Sistem Pendidikan Nasional, karena masuk SD tidak boleh melalui tes masuk], pembelajaran pun berjalan dengan normal. Ada sedikit rasa bangga, karena yang saya tunggu tak juga diadakan. Rapat wali murid baru bersama Komite Sekolah, yang tiada lain pasti akan menentukan berapa kesanggupan wali murid untuk memberikan sumbangan guna membangun gedung sekolah dan sarana fisik lain.
Kebanggan itu sirna, ketika sudah berjalan sekitar satu bulan proses pembelajaran, sepulang sekolah anak saya menyodorkan secarik kertas. Isinya, sesuai dengan yang kuduga, tarikan bulanan atas nama Komite Sekolah untuk menyumbang proses pendidikan, tidak besar jumlahnya, 11 ribu rupiah perbulan.
Setelah tiga bulan berjalan, anak saya menyodorkan lagi surat pemberitahuan. Kali ini soal mengikuti les Sempoa, tentu saja dengan biaya yang cukup lumayan, sekitar 35 ribu rupiah per bulan. Belum habis keheranan, mengenai les untuk anak kelas 1 SD itu, datang lagi pemberitahuan, tambahan les untuk Matematika dan bahasa Inggris. Untungnya, karena anak saya dianggap sudahcukup baik dalam pelajaran Matematika, akhirnya tidak didaftar ikut les pelajaran tersebut.
Ternyata persoalan pungutan itu belum lagi berakhir. Meski buku cetak pelajaran dibagi secara gratis [tentu saja sudah bekas dan sobek-sobek sebagiannya, sehhingga harus menjilid ulang], orang tua masih harus membayar buku yang lain, Lembar Kerja Siswa (LKS) namanya. Ini cukup luamayan besar, karena hampir semua mata pelajaran harus didampingi dengan LKS, saya lupa persis jumlahnya, tetapi di atas limapuluhan ribu rupiah.
Ulah culas ini jelas amat terlihat. Sekolah menggunakan Komite Sekolah untuk memungut biaya bulanan, sehingga secara hukum tidak mendapatkan label kesalahan. Sebab Komite Sekolah terdiri dari perwakilan wali murid. Inilah pungutan yang dilembagakan dan dilakukan secara sistemik. Pungutan berjamaah, namanya.
Akal-akalan lain, tentu saja les mata pelajaran. Karrena semestinya, jika guru pengampu mata pelajaran sudah cakap adanya, les tentu saja tidak perlu diadakan. Karena di kelas, seharusnya pelajaran itu sudah disampaikan dan dibahas sampai anak-anak paham. Tentu saja, les mesti diadakan, setidak-tidaknya, sekolah masih bisa mendapatkan masukan dari prosentasi biaya yang dibayarkan orang tua murid.
LKS, sudah barang tentu hasilnya cukup lumayan. Sudah bisa dipastikan, setiap buku yang dibeli dari penerbit, pihak sekolah akan mendapatkan kompensasi atau komisi. Ini adalah perselingkuhan antara lembaga bisnis dan lembaga pendidikan. Sungguh amat menyedihkan...
Pungutan lain yang tidak kentara, dan orang tua murid sering mafhum, tentu saja mengenai baju seragam sekolah, ikat pinggang dan kaos kaki yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu rupiah itu.
Saya pernah berniat tidak mengikutkan anak saya dalam les dan juga membeli buku LKS yang dibagikan. Tetapi anak saya, yang masih kelas 1 SD itu mengajukan keberatan. Alasannya, tentu saja ini perintah guru. Saya sungguh-sungguh ada di antara pilihan yang sulit, melakukan protes tetapi sangat mungkin mengkorbankan anak saya yang masih kecil, atau mengikuti dan menyetujui pungutan itu, yang berarti turut pula mendukung ketidakbenaran.