Gempa dahsyat berkekuatan 5,9 SR, mengguncangkan Yogyakarta, ketika sebagian orang mulai sibuk menyambut hari: pukul 05.55.03, tanggal 27 Mei 2006. Goncangan itu memiliki daya rusak yang amat parah, menghancurkan rumah-rumah, pasar, hotel, bangunan publik, jaringan komunikasi dan listrik. Candi Prambanan mengalami rusak parah, dan Candi Syiwa yang paling parah kerusakannya memerlukan lebih dari lima tahun untuk memperbaikinya. Porak poranda lebih tepatnya. Lebih dari 6.234 penduduk meninggal dunia, dan puluhan ribuan yang lain mengalami luka-luka. Rumah sakit tak lagi cukup menampung, tempat layanan kesehatan dibuka di mana-mana.
Dari ribuan korban gempa itu, sebagiannya menjadi penyandang disabilitas daksa; mengalami amputasi kaki dan tangan atau pemasangan pen dalam tubuhnya dan pen itu akan mengeram dalam tangan, kaki atau di bagian belakang tubuh, tanpa waktu yang bisa ditentukan. Kesakitan yang tak pernah henti. Keputusasaan yang terus merambati, menggigit-gigit: ngilu. Mereka harus memulai cara hidup dari awal dengan membawa kesulitan dalam mobilitas dalam mengakses fasilitas publik, rumah-rumah ibadah atau bahkan di dalam rumah mereka sendiri.
Satu yang tak pernah mendapatkan perhatian publik, mereka yang mengalami patah tulang belakang. Mengalami cedera sumsum tulang belakang yang membawa dampak pada tidak berfungsinya seluruh saraf di tubuh bagian bawah. Mereka tak mampu merasakan apa-apa lagi, tak mampu menggerakkan kaki, tak merasakan cubitan di kulit, dan tak lagi bisa merasakan sakit. Mati sudah setengah tubuhnya, termasuk tentu saja ketidakfungsian vagina dan penis mereka. Tak ada lagi peluang merasakan kenikmatan seksual. Dan ini yang diabaikan banyak orang.
Tujuh tahun, setelah gempa itu, saya bertemu dengan seorang teman yang mengalami patah tulang belakang dalam pertemuan penyusunan program organisasi penyandang disabilitas di Yogyakarta. Herman--sebut saja begitu namanya--ia mengalami patah tulang belakang, dan sampai kini pen tetap terpasang sejajar dengan tulang belakang di bagian bawah. Ia kini menggunakan kruk setelah tak kurang dari lima tahun hanya tinggal di rumah karena kedua kakinya tak berfungsi. Leboh dari itu, ia tahu organ seksual bagian luarnya juga turut tak berfungsi, bahkan ketika air seni mengalir saja ia tak lagi merasakannya.
Perawatan tulang belakangnya, kini memerlukan biaya yang harus dikeluarkannya sendiri, kecuali pada saat pemasangan pen setelah gempa itu terjadi. Jaminan kesehatan tak mengcover kebutuhannya dalam melakukan perawatan rutin, sebab ia hanya menggunakan fasilitas jaminan kesehatan bantuan pemerintah melalui jaminan kesehatan nasional. Tabungan tak juga dimilikinya, kemiskinan kini membayangi kehidupan keluarganya, dan tentu saja dirinya.
Ia berada dalam kegelisahan yang amat panjang. Tak hanya soal ketidakmampuan bergerak, ancaman decubitus yang setiap saat mengincarnya, dan kesulitan mendapatkan pekerjaan dengan disabilitasnya itu. Sebagai anak usia muda, Ia juga didera rasa khawatir tak bisa memiliki anak kecuali dengan jalan inseminasi. Pembuahan sel terlur dengan cara mengambil sel maninya dari scortumnya. Sebab penisnya tak lagi bisa ereksi, seluruh saraf tubuh bagian belakang telah mati.
Dengan tekad yang amat kuat, dalam mencari pekerjaan ia belajar dan berlatih sablon. Pekerjaan yang kelak diharapkan bisa menghidupi istri dan keluarganya yang entah akan bisa diraihnya atau tidak. Sablon menjadi pilihan, karena menurutnya pekerjaan itu secara fisik hanya membutuhkan pekerjaan dengan tangan. Sedang untuk mengeringkan hasil sablonnya ia bisa membayar orang lain untuk melakukannya.
Nasib baik rupanya menyertainya. Ia bisa diterima di sebuah hotel papan atas di Yogyakarta. Tetapi pekerjaan itu tak bisa lama dijalani. Suhu  dingin karena AC memiliki pengaruh terhadap tulang belakangnya. Rasa nyeri bisa menyerang tiba-tiba dan tak tertahankan rasanya. Ia pun keluar dari pekerjaan itu, dan menekuni kembali pekerjaan sablonnya. Urusan pekerjaan selesai, masyarakat juga tak lagi meremehkannya. Ia bisa hidup mandiri, tak menggantungkan pada bantuan orang lain.
Tetapi kegundahan mengenai ketidafungsian organ seksualnya tak pernah juga bisa berhenti. Tak ada biaya melakukan terapi, ia menempuh jalannya sendiri. Â Setiap malam ia menonton film yang menyajikan tayangan adegan-adegan seks untuk merangsang organ reproduksinya. Bertahun-tahun ia jalani. Bergiga-gigha file film itu di dalam telepon genggamnya. Tak ada yang tahu kegelisahan itu, tak ada pula yang tahu usaha kerasnya itu.Â
Sebagai alumni salah satu pesantren di Yogyakarta, seluruh usahanya selalu ia iringi dengan doa, dengan kepasrahan yang amat luar biasa. Tuhan mendengar doa-doanya. Hari demi hari, ia merasakan perkembangan. Sedikit demi sedikit, organ seksualnya bisa berereksi. Semangatnya terus bangkit, sambnil terus mengembangkan usaha sablonnya, ia terus membangkitkan kemampuan ereksi organ reporduksinya.Â
Hasilnya mengejutkan. tak saja ia sudah bisa berjalan menggunakan kruk, menggunakan kursi roda, mengendarai motor roda tiga. Tapi ia kini sudah menikah dan dikarunia seorang anak, buah kasihnya dengan istrinya yang juga penyandang disabilitas daksa, amputasi kaki sampai ke lutut karena menjadi korban gempa Yogyakarta.