Penanggulangan HIV dan AIDS tak cukup hanya melalui pendekatan medis. Diperlukan pendekatan kultural dan mengubah kekeliruan respons paradigmatik terkait dengan agenda-agenda penanggulangan di masa depan. Tanpa gerakan ini, hanya akan menunjukkan hasil yang tak beranjak ke mana-mana.
Kasus HIV selain terus meningkat setiap tuhuhnya, tiga tahun terakhir juga menunjukkan pergeseran ke kalangan Ibu rumah tangga. Tentu saja situasi ini akan segera disusul meningkatnya kasus di kalangan anak-anak. Kondisi yang akan sangat mengkhawatirkan untuk beberapa tahun ke depan.
Sementara itu, Â gerakan penanggulangan HIV masih saja berkutat pada pendekatan medis, menjangkau mereka yang dikategorisasikan sebagai kelompok kunci. Pilihan ini tentu bukan tanpa kesadaran tidak akan bisa secara paripurna menyelesaikan tantangan peningkatan kasus. Sebab para aktivis selalu saja terbentur pada nilai-nilai budaya yang masih saja merasa suci meski dihadapkan pada persoalan-persoalan yang tak terbantahkan.
Secara umum masyarakat, juga sebagian besar elit negeri ini, masih merasa malu untuk secara legowo mengatakan ancaman HIV benar-benar makin membahayakan. Mereka selalu menghindari fakta-fakta ini dengan bersembunyi di balik pernyataan: HIV hanya akan menginfeksi orang-orang yang tak bermoral. Dengan pernyataan ini, seolah-olah membebaskan mereka dari tanggung jawab, sebab terinfeksi HIV merupakan kesalahan mereka sendiri.
Berlatar dengan pemahaman seperti ini, selalu saja muncul kesalahan paradigmatik terhadap agend-agenda strategis penanggulangan HIV dan AIDS. Misalnya, meski diakui kondom merupakan salah satu alat efektif untuk mencegah transmisi virus, saat dipromosikan kondom sebagai cara melakukan hubungan seks akan, pemahaman yang direspons: kampanye penggunaan kondom sama artinya dengan menganjurkan seks bebas.
Cara berpikir kacau seperti yang harus segera diluruskan di kepala semua pihak. Sebab, jika tak diluruskan yang terjadi situasi kontra produktif. Satu pihak mendidik masyarakat untuk bisa terhindar dari virus, sementara pihak lain menyerang dengan dalih moralitas.
Situasi kontra produktif semacam ini mengakibatkan para aktivis, dan sebagian kecil pengambil kebijakan gamang untuk mengampanyekan perilaku seks akan di tengah-tengah masyarakat. Para aktivis hanya tergerak di wilayah akan dari serangan-serangan yang bersumber dari kerangka berpikir tak nalar.
Saat ini, penanggulangan HIV membutuhkan figur publik yang vokal untuk melakukan transformasi kebudayaan dan merekonstruksi kekeliruan paradigmatik terhadap agenda penanggulangan HIV. Di banyak negara, telah membuktikan, agenda penanggulangan HIV yang tidak di bawah bayang-bayang kampanye seks bebas telah menunjukkan hasilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H