Menjalani pernikahan sungguh bukan perkara main-main. Sebuah rencana pendek untuk menjalani lorong panjang, gelap dan mungkin juga terjal, bergelombang dan mungkin bandang, manis tetapi bisa jadi pahit.Â
Penyatuan dua jiwa yang diukur dari indahnya pacaran, padahal perih dan duka bisa menjadi teman sejauh jalan membentang. Maka butuhlah sebuah perjanjian yang tumbuh dari ketulusan hati, bukan sekadar yang tertulis dalam dokumen negara. Dan saya menyebutnya kontrak sosial pernikahan. Meski tidak sampai notaris, sebab disepakati bukan soal pembagian harta benda, tetapi soal hati dan rasa.
Saya ingat benar, sebelum akhirnya bersepakat untuk membangun kehidupan bersama dalam naungan rumah tangga dengan seluruh persoalan yang mungkin akan bermunculan, antri dan berduyun-duyun datang.Â
Beberapa kemungkinan yang bisa terjadi dan yang sudah jelas terjadi disepakati bersama dengan penuh kesadaran, ketulusan untuk saling menghargai dan membahagiakan.Â
Perihal yang sudah jelas terjadi, misalnya, perkara kerja-kerja domestik, urusan rumah tangga, kita sepakat itu bukan hanya tanggung jawab istri sebagai diamini dalam kepercayaan budaya patriarkhi.Â
Artinya, saya dan istri sama-sama memiliki tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga. Meski tak ditetapkan siapa yang menyapu, siapa yang mencuci baju, dan siapa yang mencuci piring. Tetapi ada kata sepakat semua urusan yang sering dianggap tak bermutu itu hendak dilakukan bersama-sama. Intinya, kita menolak konsep tugas perempuan itu 3 R (sumur, dapur dan kasur) atau 3 M (macak, masak, manak).
Perkara yang belum mesti terjadi, misalnya, kehamilan kita buat juga kesepakatan. Istri hanya bersedia hamil pada tahun keenam atau ketujuh setelah menikah. Argumentasinya, ketika langsung hamil sebelum memiliki pengalaman bekerja, akan terancam terus menjadi ibu rumah tangga tanpa bisa kerja.Â
Teorinya, ketika menikah begitu lulus kuliah, dan langsung hamil maka akan memngasuh anak, untuk menyusui saja setiaknya sampai dua tahun lamanya untuk menyempurnakan susuan. Tentu saja, akan sulit, atau setidaknya kehilangan semangat untuk mencari kerja setelah selesai menyusui anak.
Namun, manakala hamil setelah memiliki pengalaman kerja, apalagi setelah memiliki pekerjaan tetap, maka tinggal mengambil cuti hamil dan cuti melahirkan. Setelah selesai cuti, tinggal masuk kerja lagi. Ini logika soal kesepakatan tentang kapan istri hamil. Selain memang menjadi salah satu hak kesehatan reproduksi perempuan itu, memang menentukan kapan akan memiliki anak, berapa akan memiliki anak, atau hendak tidak memiliki anak.