"Minumlah dari cangkir ini dan kau akan memahami arti kebahagiaan dalam kehidupan, karena penderitaan yang berlimpah."Â
Begitulah Kahlil Gibran dalam karyanya 'Cinta, Tawa dan Air Mata' memberikan pratanda mengenai manusia yang akan bisa memahami kebahagiaan dalam kehidupan di dunia yang fana.Â
Sebelum Adam dan Hawa diturunkan ke tanah merah yang sunyi, tanah merah yang hanya menawarkan kegelisahan karena dosa yang diperbuatnya, ia sudah dikenalkan dengan berbagai nama-nama, dan tentu juga rasa dalam hatinya.
Pemberian energi melalui cangkir dari Tuhan kepada ciptaan-Nya, menjadi mula seorang manusia akan bisa merasakan dua sisi yang berbeda dalam hampir seluruh aspeknya, sekaligus cita rasanya: kebahagian dan penderitaan. Sayangnya, bagi Kahlil Gibran, seseorang tidak akan bisa memahami arti kebahagiaan tanpa dirinya melalui penderitaan yang amat berlimpah.Â
Penderitaan yang pada akhirnya memberikan pelajaran tentang situasi yang bergembira, sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya.
Mengecap kebahagiaan dengan begitu berarti juga mengecap penderitaan. Tanpa itu, seseorang tidak akan pernah tahu apa yang disebut dengan bahagia, bahkan pada apa yang sudah ada dalam genggamannya.Â
Tanpa merasakan penderitaan, seseorang hanya akan merasa dalam genggamannya adalah sebuah rutinitas, sesuatu yang amat membosankan, sesuatu yang terasa sebagai kesia-siaan.
Tentang kebahagiaan ini, Donald Robertson, menuliskan dalam karyanya Stoicism and the Art of Happiness, pada ribuan tahun yang lalu, Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM mendirikan Stoikisme, sebuah aliran atau mazhab Filsafat Yunani Kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani. Meski sebagaimana banyak aliran Filsfat Barat Kuno, merumuskan tujuan hidup manusia itu adalah kebahagiaan.
Tetapi, faktanya, menurut Donald Robertson, menunjukkan situasi yang berbeda. Stoikisme menunjukkan tujuan hidup manusia bukan kebahagaan, melainkan cinta dan pencapain kebijaksanaan hidup.Â
Kebahagiaan hanyalah salah satu aspek dari hidup manusia, seumpama hasrat, perasaan, dan moral sebagai praktik dari kebijaksanaan.
Dalam proses mencapai cinta kasih dan kebijaksanaan itu, menurut Stoikisme, manusia harus mampu melihat dirinya sendiri dengan baik, mengenali dirinya dengan sepenuhnya.Â
Manusia harus bisa memetakan apa yang ada dalam kendalinya dan apa saja yang berada di luar kendali dirinya. Kebaikan utama dalam hidup manusia biasannya berada pada ruang yang ada dalam kendalinya dan dalam tindakannya.
Pencapaian kebijakan akan bisa diraih manakala manusia bisa hidup bersama alam, bisa berdampingan dengan dua semesta; semseta kecil dalam dirinya sendiri,Â
misalnya, kebijakan, kebaikan dan keadilan bersama yang ada dalam kuasanya dan semesta besar, misalnya, menerima alam semseta tepat manusia hidup sebagai bagian dari keseluruhan hidup, alam universal, berada di luar kontrol manusia dan tidak bisa mengubahnya.
Kebajikan dan kebaikan dengan begiitu menggemberikan dan karena itu manusia bisa merasa bahagia dalam hidupnya.Â
Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Ibnu Qadhib Alban dalam karyanya 'Rehasia Kebahagiaan' menunjukkan jalan lain untuk bisa menemukan kebahagiaan. Lihatlah musibah atau ujian yang lebih besar yang dialami orang lain, dan saat itulah bahagia bisa dirasakan dengan rasa syukur kepada Tuhan, berterima kasih kepada sang Pencipta.
Selain itu, dengan melihat musibah yang dialami sendiri sangatlah kecil, manakala dibandingkan dengan dengan anugerah karunia dan nikmat Allah kepada dirinya.Â
Sehingga seorang manusia akan melakukan adaptasi terhadap musibah yang dianggap kecil, musibah itu hal yang biasa. Ketika melihat rahmat Allah ia akan memperbagus amal kebaikannya dan malu berbuat dosa kepada-Nya.
Musibah itu ada dalam kendali manusia, atau bahkan manusia itu sendiri yang menyebabkan musibah. Efek rumah kaca merupakan salah satu contoh teraktual, bagaimana perbuatan manusia terhadap alam yang sembrono, hanya mengejar akumulasi kapital, dengan mengorbankan dan merusak kawasan tutupan hutan.Â
Meluaskan kawasan perkebunan dengan membuka hutan perawan hijau, menyebabkan ketidaseimbangan semesta, dan mengakibatkan perubahan yang tak terkendali. Curah hujan yang terus menerus atau kekeringan yang berkepanjangan, dan membuat panen tidak bisa lagi diharapkan.
Sebab itulah, amal kebaikan, kesalehan itu, yang sering kali disebut juga dengan kebajikan (virtue) yang mencakup berbagai tindakan baik kepada sesama dan semesta raya jauh lebih tyinggi ketimbang kebahagiaan itu sendiri. Berbahagialah seseorang ketika telah mampu berbuat baik kepada sesamanya, menjadikan orang lain merasa senang dalam menjalani kehidupannya.Â
Mereka yang berbuat baik itu adalah orang-orang mencapai puncak tertiggi dari maqom manusia, menjadi orang-orang yang penuh kasih sayang sesama.
Jadi, kejarlah pencapaian kebajikan dan cinta kasih, itu berarti engkau akan bahagia. Tetapi jika engkau hanya mengejar bahagia sebagai tujuan hidup, mungkin engkau justru akan menyengsarakan sesama dan semesta. Engkau tak bijak dan tak memiliki cinta kasih dalam hatimu.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H