Angkringan Dzul mulai ramai, meski baru setangah jam sejak salat tarawih selesai. Ada menu makanan baru, sate pepaya. Menurut Dzul, sate ini merupakan kreativitas istrinya, untuk memermudah pelanggan dalam menikmati buah pepaya yang bermanfaat bagi kesehatan. Kalau disajikan dalam bentuk potongan, pelanggan sulit makannya, belum lagi kalau cairannya keluar, bisa mengotori baju dan bikin boros tisu.
Kliwon sudah memesan susu jahe kesukaannya, dan Rajab yang duduk di samping Kliwon memesan the panas gelas besar. Dzul mulai sibuk melayani pelanggannya dari yang minta sendok sampai yang bertanya mana nasi sambal teri dan mana nasi tempe. Meski sudah tertulis di bungkus nasi kucing itu, keinginan orang untuk bertanya selalu saja muncul, dan selalu berulang.
"Wah, Pak Mukhtar, mari-mari silakan duduk," kata Kliwon ketika melihat tetangganya muncul di angkringan. Mukhtar tinggal di dusun Bluwangan baru sekitar dua tahunan, rumah aslinya Lamongan. Ia berdagang ayam dan lele goreng lamongan di pinggir jalan di depan rumah kontrakannya.
"Sudah habis dagangannya?"
"Alhamdulillah tadi ada rombingan mudik, langsung habis semuanya."
"Syukurlah. Pak Mukhtar nggak mudik?"
"Wah Pak Rajab, sebenarnya ingin mudik, tapi situasi nggak memungkinkan."
"Benar. Mudik itu memang membutuhkan biaya yang tak sedikit," kata Dzul sambil mengeringkan gelas dengan kain lap bergaris-garis biru.
"Terus acaranya apa ini kalau nggak mudik?" Kliwon mengajukan pertanyaan yang ia juga tahu nggak penting-penting amat pertanyaan itu. Terserah orang saja, mau tidur sepanjang hari di rumah nggak apa-apa, mau ke tempat-tempat wisata tidak persoalan, ikut keliling warga Bluwangan bersilaturreahmi dari rumah ke rumah itu lebih baik.
"Nggak ada rencana khusus juga, sih. Kita ikuti saja besok mau apa yang terjadi," kata Mukhtar.
"Ya, sikap semeleh itu sangat bagus. Patinya, di hari pertama lebaran bareng aku saja keliling kampung," kata Dzul.