Sedih, haru, marah, bercampur-campur, saat membaca laporan Kompas, mengenai para guru yang didiskualifikasi dalam proses sertifikasi yang dilakukan di Universitas Negeri Manado (Unima). Pasalnya, ijazah kesarjanaan yang mereka pegang dianggap tidak sah, karena dikeluarkan perguruan tinggi yang hanya mengantungi izin operasional dari Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis), dan belum terakreditasi di Kementerian Pendidikan Nasional.
Tindakan Unima tentu saja patut disayangkan. Tidak saja, karena tindakan itu memupus kesempatan para guru untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Melainkan juga mengorbankan guru, yang sudah menjadi korban perguruan tinggi tempat para guru menempuh perkuliahan. Sebab bisa dipastikan, pada saat mendaftar kuliah di perguruan tinggi, para guru tidak mendapatkan penjelasan detail mengenai status izin operasional yang bisa berdampak pada keabsahan ijazah atau gelar yang diraihnya.
Berdasarkan pemikiran ini, Unima seharusnya bisa berpikir bijak, karena ijazah yang dipegang para guru bukan ijazah palsu. Dengan kata lain ijazah itu sah dan gelar yang diraih para guru dengan demikian juga sah. Persoalan tidak terakreditasi mestinya menjadi tanggung jawab perguruan tinggi. Institusi inilah yang mestinya menanggung akibat dari persoalan ini, bukan para guru itu sendiri. Kementerian Pendidikan Nasional harus bertindak tegas terhadap perguruan tinggi yang sudah berani mengeluarkan ijazah meski belum mendapatkan akreditasi. Sanksi sudah semestinya diberikan terhadap perguruan tinggi ini.
Selanjutnya, peringatan juga mesti diberikan kepada Kopertis yang tentu saja mereka tahu persis, ijazah yang dikeluarkan perguruan tinggi swasta tanpa akreditasi dari Kementerian Pendidikan Nasional tidak sah sebagai persyaratan administrasi kepegawaian. Sehingga Kopertis bisa dianggap melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik yang akan merugikan masyarakat, dan kali ini, menimpa lebih dari seribu guru itu.
Harus Bertindak
Dampak keputusan diskualifikasi terhadap para guru itu tidak hanya berhenti pada soal administrasi dan ketidaklulusan dalam proses sertifikasi. Mereka akan menanggung beban moral berkepanjangan. Sebab, meski tidak dinyatakan ijazah mereka ilegal, ijazah mereka palsu, masyarakat tidak serta merta memahami degan benar duduk perkaranya. Persoalan ini yang mungkin tidak hendak dipikirkan oleh Unima dalam melakukan diskualifikasi terhadap guru-guru itu.
Menyikapi diskualifikasi ini, para guru sudah sepantasnya menuntut secara bersama-sama agar perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah itu. Tuntutan ini bisa berbentuk pidana dan sekaligus perdata. Pidana, bisa dilakukan dalam pemberian informasi yang tidak benar mengenai status dan keabsahan ijazah yang dikeluarkannya. Dengan demikian, perguruan tinggi itu telah melanggar undang undang konsumen tahun 2009. Dalam undang undang ini disebutkan, salah satu kewajiban penyedia jasa harus memberikan informasi yang bebat dan akurat mengenai jasa yang dijualnya.
Para aktivis gerakan sosial di Manado sudah sepatutnya memberikan dukungan penuh terhadap para guru yang telah dirugikan, dan mengalami diskualifikasi itu.
Kasus perdata bisa disandarkan pada kerugian yang dialami secara ekonomi akibat ijazah yang dipegang para guru dianggap tidak sah. Sebab jika ijazah itu dianggap sah, para guru akan lulus sertifikasi. Dengan begitu para guru bisa menikmati kenaikan gaji yang diterimanya. Tuntutan ini bisa maksimal, karena selain kerugian material, juga mengalami kerugian non material, rasa malu di tengah masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H