Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hari Kesehatan Seksual Dunia, Siapa Peduli?

11 September 2011   16:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:03 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanggal 4 September 2011,  merupakan peringatan kedua Hari Kesehatan Seksual Dunia (HKSD), setelah Asosiasi untuk Kesehaan Seksual Dunia (AKSD) untuk pertamakalinya mendeklarasikan  pada 4 Septeber  2010 lalu,  diikuti  lebih dari 25 negara dari berbagai belahan dunia. Di Indonesia, peringatan kedua HKSD 2011, dilaksanakan secara bersamaan diberbagai wilayah, seperti Bengkulu, Jambi, Lampung, Jakarta, Yogyakarta, dan Papua, dengan dukungan RutgersWPF Indonesia. Puncak acara akan dilaksanakan pada tanggal 29 September 2011 di Yogyakarta dengan host Jaringan Perempuan Jogjakarta (JPY).

Pertanyaannya, apa pentingnya penetapan HKSD? Menurut  AKSD, peringatan ini diperlukan secara terus menerus, karena kenyataannya masih banyak masyarakat yang menyalahpahami pemaknaan seksualitas (sexuality), termasuk di Indonesia, baik dalam konteks budaya maupun agama. Dengan demikian HKSD dimaksudkan sebagai usaha untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai seksualitas ini.

Beberpa isu yang masih terus menguat, misalnya, kekerasan seksual yang dialami remaja perempuan, yang dilakukan oleh pacarnya dan dilakukan laki-laki dewasa. Di sisi yang lain, kekerasan yang dialami oleh kalangan lesbian, gay dan waria, dalam bentuk  kekerasan fisik, psikis dan sosial. Permenkes mengenai sunat perempuan yang diterbitkan tahun ini, merupakan salah satu contoh pelanggaran rehadap hak perempuan yang dilakukan negara.

Peristiwa-peristiwa tindak kekerasan ini, menunjukkan sedikitnya masyarakar yang memahami, setiap manusia memiliki hak seksual yang harus dipromosikan, dilindungi dan dipenuhi oleh negara, sebagai bagian dari hak asasi manusia. Terbatasnya pemahaman mengenai hak-hak seksual ini, mengakibatkan pandangan yang keliru berkaitan dengan seksualitas. Ketika mendengarkan kata 'seksualitas', yang terpikirkan oleh sebagian besar masyarakar adalah 'hubungan seks.'

Melalui peringatan HKSD, sudah saatnya pemaknaan sangat terbatas ini untuk diluruskan. Seksualitas (sexuality) hendaknya tidak dipahami sebagai hubungan seks, melainkan sebuah keseluruhan hidup manusia itu sendiri, mencakup tetapi tidak terbatas pada  soal martabat, integritas, hasrat, dan penghargaan terhadap pilihan-pilihan orientasi seksual bagi sertiap orang.

Dengan demikian, mendiskusikan masalah seksualitas manusia, akan membantu memahami dengan lebih jelas isu-isu etis dalam berbagai sistem sosial, seperti politik, ekonomi dan hukum. Ini manakala kita bersepakat memaknai seksualitas sebagai dimensi integral dari masing-masing individu, yang mencakup secara terakait, pemikiran, keinginan, motivasi, tindakan, psikologis dan mental.

Istilah “intimate citizenship,” cukup bisa menjelaskan bagaimana dimensi personal, emosional dan seksual dalam kehidupan kita (yang seringkali hanya diletakkan sebagai wilayah private), sesungguhnya sangat bersifat publik dan seringkali membawa konsekuensi politis.

Dalam konteks agama, persoalan seks dan seksualitas seringkali menjadi pemicu, ketika komunitas agama merasa terancam oleh atau dalam konflik yang melibatkan musuh-musuh dari luar agama maupun dalam satu agama tetapi berbeda cara pandangnya. Pada situasi inilah, komunitas agama mencoba melakukan penolakan dan mengembangkan ideologi yang mengatur seksualitas dan gender. Mereka mengamankan kekuasaan politiknya dengan melakukan pembatasan, dan bisa jadi penganiyaan terhadap perempuan, minoritas seksual dan minoritas gender. Mereka menempatkan ketegangan politik dan ketidakadilan ekonomi ke dalam seksualitas dan hubungan intim ini.

Islam sendiri melihat seks sebagai sesuatu positif, dan cukup berbeda dengan tradisi agama lain yang memandangnya sebagai sesuatu yang negatif. Mereka tidak bisa menerima orang beriman akan selalu melakukan hubungan seks dan dalam kebangkitan nanti juga masih akan berurusan dengan seks. Padahal Islam sangat mengaitkan fantasi tentang surga tidak hanya berkaitan dengan bangkitnya tubuh secara fisik, tetapi juga menyangkut soal kenikmatan, termasuk kenikmatan seksual. Walaupun kisahnya menjadi ruwet, ketika di pesantren dikisahkan setiap laki-laki akan mendapatkan 40 puluh bidadari. Karena itu sebagiannya memandang keinginan seksual merupakan bagian tak terpisahkan dari penciptaan dan ekspresi kebijaksanaan Allah. Ada satu riwayat yang menceritakan, ketika seorang laki-laki menatap istrinya dengan penuh kasih sayang dan istrinya pun menatap suaminya dengan kasih sayang pula, Allah melihat mereka berdua dengan pandangan penuh kasih dan sayang. Riwayat ini jelas menunjukkan, seks tidak hanya terkait dengan tindakan untuk pro-kreasi, tetapi ada gairah, ada keinginan-keinginan mendapatkan kenikmatan seksual.

***

Persoalan lain yang kerap menjadi perdebatan panjang adalah soal bagaimana agama-agama  berkaitan dengan homoseksualitas. Faktual, teman-teman gay dan lesbian sudah merasa putus asa mengahadapi penolakan-penolakan eksistensi mereka. Dalam sebuah buku yang mereka terbitkan berkaitan dengan kekerasan yang dialami gay, lesbian dan waria, sangat mengekspresikan kehendak mereka untuk diterima dalam naungan agama, tetapi di sisi lain, sebuah keputusasaan yang teramat dalam terhadap berbagai sikap dan tindakan tidak adil yang mereka alami.

Saya sangat tertarik dengan statemen Hussen Muhammad, yang menyatakan teks agama itu diam, yang berbicara adalah para pengikutnya. Apa yang dikatakan para pengikutnya, berdasarkan interpretasi mereka yang sudah dipengaruhi oleh keluasan pengetahuan, sikap politik dan kebudayaan di mana mereka belajar dan hidup, sama sekali tidak pernah bisa mengubah prinsip-prinsip agama, atau panduan-panduan umum yang didedah dalamteks agama. Misalnya, keyakinan Islam mengakui adanya keragaman penciptaan, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beragam bahasa, dan warna yang tidak bisa diterjemahkan sebagai warna 'merah, kuning hijau", tetapi juga menunjukkan pada keragaman situasi, lingkungan alam, bentuk, jenis, yang metarbelakanginya, termasuk soal keragaman seksualitas dan orientasi seksual.

Dalam perkembangan berikutnya, kalangan muslim progresif dalam isu seksualitas mencoba keluar dari pertentangan tidak produktif "homoseksualitas" berhadap-hadapan langsung dengan "heteroseksualitas" yang didominasi cara pandang pro-kreasi dari kalangan patriarkhi-maskulinitas.

Lalu bagaimana kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun