Akulah, Jarot. Laki-laki dengan kedalaman agama yang bisa diandalkan. Tiga belas tahun lamanya menjadi santri di pesantren milik kyai bernasab nabi.Sepuluh tahun sudah kugenapi, mengaji khusyuk di masjid nabawi. Berbagai kitab telah dikaji, mulai dari sulam taufiq sampai ke dalail. Mulai dari jurumiyah sampai ke alfiyah, semuanya hafal di luar kepala, dari depan sampai belakang,dari belakang sampai depan. Kitab-kitab bijak bestari telah diselesaikan, seperti Qiroaturrosyidah, al ' Ushfuriyah, Dhurotun Nasihin dan Riyadhus Sholihin. Semakin dalam aku mengerti agamaku, kelembutan yang kudapatkan, mungkin juga yang kau dapatkan.Kasih sesama menjadi inti agamaku, melindungi dan menyelamatkan diajarkan selalu.
Tetapi, proses sosial mana yang tidak pada tempatnya? Sehingga kekerasan menampak begitu rupa. Teror yang mencabik. Ketenangan jiwa yang terusik. Bom-bom di mana-mana, teror di mana-mana. Menggedor-gedor pintu langit. Menjagakan kesenyapan dinding-dinding surga atau mungkin teralis neraka. Akulah, Jarot. Laki-laki yang sedang gundah gulanah. Tidak percaya dengan proses sosial yang ada, dan kehidupan agama di negeri tempat kelahiranku. Negeri yang selama ini selalu dibanggakan dalam seminar-seminar, dalam diskusi-diskusi berbuih.
***
Akulah, Jarot, laki-laki yang dilahirkan dari perempuan desa yang tak pernah lulus sekolah dasar. Tetapi, tidak saja air susu yang bisa kudapatkan, melainkan juga kesederhanaan dalam menjalani kehidupan. Tak ada yang perlu dituntut-tuntut, biarkan semua berjalan sesuai yang dipikirkan setiap orang dan mendapatkan kenan dari yang berkuasa atas alam raya. Segalanya tak perlu ada yang dipaksa, sebab setiap manusia mampu menangkap kebenaran. Soal kadar kebenaran tak perlu pula untuk ditimbang-timbang, semuanya akan sesuai dengan tingkat keikhlasan dan kesalehan. Mereka yang berteriak tegakkan kebenaran di muka bumi ini, sungguh tidak berarti bisa dipastikan melakukan tindak tanduk yang benar dalam keseharian. Mereka yang melakukan kebenaran setiap hari, tidak berarti harus berteriak tentang kebenaran itu sendiri. Kebenaran terus berubah ke arah yang adil, tidak pernah berhenti pada satu titik. "Jika kebenaran berhenti pada satu titik, bisa jadi bukan kebenaran lagi," kata emakku suatu saat menjelang keberangkatannya ke tanah suci.
Emakku belajar dari kehidupan. Tentang kesederhanaan dan kebenaran. Tentang keikhlasan dan kesalehan. Tidak cukup kesalehan individual untuk menjadi berguna bagi sesama, tetapi kesalehan sosial yang menjadi utama. Emakku yakin benar, yang bermanfaat bagi manusia akan tetap bertahan dan yang tak berguna akan menghilang, umpama buih-buih di lautan, yang akan terus terbuang ke bibir pantai dan lalu menghilang. Tertelan pasir-pasir terhampar atau dihancurkan kaki-kaki telanjang anak-anak yang bertelanjang.
***
Akulah, Jarot, laki-laki yang memahami makna kerja keras dan saling menghargai. Belajar dari bapak yang buruh genteng tetapi bercita-cita tinggi, melebihi kapasitas situasi ekonominya sendiri. Tetapi dengan penuh percaya diri, mengencangkan otot, mampu juga akhirnya anak-anak yang enam jumlahnya menyelesaikan perguruan tinggi. Rasa kebersamaan selalu ia tanamkan, apa yang dikatakan itulah yang dilakukan. Karena bapak memahami, dosa besar tidak hanya membunuh dan bersaksi palsu, merekayasa bukti-bukti. Tetapi yang paling utama, dosa besar adalah mengatakan sesuatu tetapi sungguh tak pernah melakukannya sendiri.
Kata bapak, prinsip ini bukan masalah sepele. Para penghuni neraka sebagian besarnya orang yang hanya cakap bicara tetapi tak pernah ada dalam hati dan tindakannya. Kata adalah yang terucapkan, tindakan menjadi urusan yang berbeda. Banyak orang-orang tergelincir karenanya, mungkin sebagiannya tidak menyadari, dan sebagian memang begitulah ahlinya. Lain tidak.
***
Akulah, Jarot. Laki-laki yang sudah dua kali menolak menjadi pegawai negeri. Bukan sekedar karena harus menyuap dan menyiapkan upeti. Melainkan karena merasa tak mampu akan bisa memegang amanat dan janji sebagai pelayan bagi setiap warga di negeri ini. Jaring-jaring yang begitu kuat, menjadikan orang jujur hanya menjadi diam, orang bersih justru menjadi tidak normal. Mesin raksasa yang akan menggilas lumat mereka yang bermoral, dan menertawakan mereka yang menolak komisi dan pemberian meski hanya tinggal tanda tangan.
Sedih memang dibuatnya. Melihat orang-orang cerdik pandai dikibulin oleh mereka yang licik. Media-media menjadikannya bintang, sampai pada akhirnya menutupi kenyataan. Tak lagi tahu mana ujung, mana pangkal. Mana fakta, mana impian. Bercampur-campur, berbaur-baur. Seperti anak-anak sedang menghitung kancing bajunya. Benar, salah, benar, salah, salah-benar, benar-salah entah kapan berakhirnya.
***
Akulah, Jarot. Laki-laki lembut yang tak pernah mengalami kekerasan sejak masa kecil. Tetapi selalu menyaksikan bagaimana para laki-laki tetangganya begitu mudah memukul istrinya. Pendidikan, alasannya. Seakan tidak ada lagi cara komunikasi yang lebih manusiawi. Setiap pukulan, seakan meningkat dua derajat martabat, harkat dan kejantanan laki-laki.
Inilah mungkin yang banyak disebut-sebut orang sebagai penaklukan, penjinakkan. Tetapi memang begitulah cara membangun kuasa. Mereka yang berpengetahuan menaklukkan dengan ilmunya, mereka yang tak berpengetahuan menjinakkan dengan kekerasan. Maka tidak perlu heran, ketika melihat orang berdebat saling berebut bicara, dan akhirnya berbicara bersama dan tak ada pendengarnya. Tetapi tidak perlu heran pula, manakala melihat orang terus menghancurkan tanpa bicara, meski airmata meratapi kehidupan. Sebab, begitulah teorinya.
Akulah, Jarot. Laki-laki yang kini hanya mampu tersenyum terus-menerus di sepanjang jalan. Menyapa daun-daun, dan mengangguk ramah kepada hewan-hewan. Melambaikan tangan kepada desir angin yang lembut dan menjauh.***
Biak-Numfor, 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H