Agenda penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia tampaknya masih belum memberikan dampak yang lebih baik bagi perempuan. Hal ini terbukti dengan terus bertambahnya angka perempuan positif dari tahun ke tahun. Bahkan manakala menggunakan platform penanggulangan HIV dan AIDS, semakin bermasalah, sebab peningkatan angka itu justru tidak di kalangan key population (perempuan pekerja seks), melainkan perempuan pada umumnya.
Sayangnya, fenomena feminisasi HIV dan AIDS, ternyata tidak mendapatkan ruang cukup memadai dalam hingar bingar Pertemuan Nasional (Pernas) HIV dan AIDS di Yogyakarta awal Oktober 2011. Meskipun Aliansu Masyarakat Sipil untuk Penanggulangan AIDS meneriakkannya cukup lantang dalam demonstrasi di halaman Hotel Inna Garuda Yogyakarta tempat diselenggarakannya Pernas AIDS.
Selama ini, problem penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia lebih banyak dipandang dari segi ekonomi dan medis belaka. Dari sisi ekonomi, misalnya, selalu dipersoalkan ketersediaan anggaran yang terbatas untuk penanggulangan HIV dan AIDS, sedangkan dari segi kesehatan lebih memfokuskan pada pendekatan dan strategi layanan klinis.
Dalam kerangka paradigmatik, penanggulangan yang terfokus pada kelompok kunci, menimbulkan ketimpangan pengetahuan dan ketrampilan yang luar biasa antara perempuan pekerja seks dengan perempuan yang hanya mengurusi rumah tangga. Bagi perempuan pekerja seks, pengetahuan mengenai HIV dan AIDS sangat memadai, bahkan ketrampilan untuk bernegosiasi sangat mumpuni karena interfensi yang intensif dalam program penanggulangan AIDS. Sesuatu yang tidak didapatkan oleh perempuan yang tinggal di ruang domestik.
Dalam konteks politis, juga tersedia seperangkat kebijakan, tentu saja berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, untuk terus menerus melindungi perempuan pekerja seks untuk tidak terinfeksi atau menginfeksi pasangan seks dengan virus yang melemahkan anti body manusia itu. Sesuatu yang juga tidak terjadi dengan perempuan yang berada dalam kungkungan rumah tangga.
Padahal, kerentanan perempuan di ruang domestik juga sama tingginya, karena sebagian mereka berpotensi terinfeksi oleh suaminya sendiri. Situasi yang sangat paradoks, karena justru perempuan tertular dari pasangan yang sangat dicintainya itu.
Analisa Gender
Pertambahan angka perempuan positif terinfeksi HIV, tidak mungkin bisa dipecahkan manakala pendekatan penanggulangan HIV dan AIDS hanya dilakukan secara ekonomis dan klinis. Dibutuhkan alat bantu lain yang mampu membedah akar persoalan semakin tingginya angka perempuan positif HIV.
Analisa Gender sesungguhnya bisa menjadi salah satu alat bantu untuk membedah akar persoalan ini. Dengan alat analisa ini, penyebaran HIV dan AIDS tidak hanya dipandang sebagai persoalan tubuh dan medis, melainkan terdapat relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi melalui mekanisme kebudayaan.
Kuasa laki-laki dalam rumah tangga sebagaimana terdidikan dalam sistem sosial, menjadikan laki-laki seakan-akan memiliki kewenangan mutlak, terutama dalam wacana seksualitas. Dalam sebagian besar tradisi di Indonesia, tindakan seks bagi laki-laki merupakan hak, sementara bagi perempuan menjadi kewajiban.
Berangkat dari konstruksi semacam ini, perempuan menjadi rentan terinfeksi dari pasangan laki-lakinya yang bertindak tidak setia dalam melakukan tindakan seks, dan secara bersamaan enggan menggunakan kondom. Apalagi dengan istrinya sendiri, sebab menggunakan kondom seakan-akan sedang menunjukkan belang laki-laki yang melakukan berganti-ganti pasangan, sebagai salah satu indikasi kuat perilaku seks berisiko.
Sinergitas Gerakan
Berdasarkan pada alur berpikir seperti ini, sudah tidak mungkin lagi agenda penanggulangan HIV dan AIDS hanya dilakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS, institusi kesehatan dan aktivis HIV. Melainkan harus membangun gerakan yang sinergis dengan berbagai gerakan masyarakat sipil yang lain, terutama mereka yang bekerja pada isu kekerasan berbasis seksual dan gender, isu hak asasi manusia, isu anggaran dan juga yang bergumul dengan wacana antropologi dan etnografi.
HIV dan AIDS bukan lagi monopoli wacana kesehatan dan biologi, melainkan terkait erat dengan isu yang lain. HIV dan AIDS tidak bisa ditangani dengan prinsip ekslusivitas, melainkan harus berubah menjadi inklusivitas dalam gerakan perubahan sosial yang lain.
Hanya saja, kesadaran mengenai makna pentingnya sinergitas gerakan ini, pada akhirnya hanya akan menjadi cerdas dalam teks. Kecuali jika kesadaran pelaku gerakan ini juga mendapatkan dukungan positif dan pro aktif dari lembaga-lembaga penyandang dana, terutama pada skala internasional. Kecuali, jika mereka memang bersedia mendapatkan label, kontribusi dalam menguatnya fenomena feminisasi HIV dan AIDS, justru terbesar diberikan oleh lembaga penyandang dana. Sebab merekalah yang mengkotak-kotakan gerakan menjadi bagian-bagian kecil dan terpisah-pisah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H