Tepat 7 Februari 1947 di Soppeng, Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) resmi berdiri. Tiga ulama besar sebagai inisiator, KH Daud Ismail (Qadi di Soppeng), KH Abd Rahman Ambo Dalle (MAI Mangkoso) dan KH Abd. Pabbajah dari Pare-pare. Pilihan nama DDI sebagai organisasi yang berhaluan ahli sunnah wal jamaah ini sangat filosofis, meskipun saat itu muncul opsi lain ditawarkan yaitu Al-urwatul wutsqa dan Nashrul Haq.
Menurut hemat penulis, Filosofi nama Darud Dakwah Wal Irsyad mencerminkan tiga proses hidup, yaitu Darud sebagai tempat, Dakwah sebagai “proses” serta al-Irsyad sebagai goals atau tujuan. Secara semantik, nama ini sudah menjelaskan cukup luas makna hadirnya organisasi DDI itu sendiri, sebagai wadah atau “bengkel” (Darul) manusia dengan pendekatan agama (Dakwah) agar kelak mendapat petunjuk (Irsyad) dari Allah. Sederhananya demikian.
Jika dipandang dari perpektif teologis, terma Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) sendiri sangat kental muatan ahli Sunnah wal Jamaah-nya. Terutama teologi al-asyariyah yang menjadi pedoman utama faham ini. Yang berpandangan bahwa manusia diwajibkan untuk senantiasa berilmu tinggi dan beramal banyak agar bisa mendapat ridha, anugrah dan petunjuk (Irsyad) Allah, karena hanya ridha, anugrah dan petunjuk Allah-lah yang menjadikan manusia selamat, bukan Ilmu dan amalnya. Sebab kekuasaan mutlak adalah milik Allah. Olehnya, dalam tradisi pesanteren DDI dan juga NU, setiap selesai pengajian kitab kuning, biasanya kyai-kyai menutupnya dengan ungkapan “wallahu a’lam bissawaab”. Dalam artian, manusia bisa banyak ilmu dan amal akan tetapi ada batasnya, sehingga perlu rendah hati. Karena semua berpulang kepada-Nya.
Sejak kehadiran DDI sebagai organisasi dakwah, pendidikan dan usaha sosial telah banyak memberikan kontribusi dalam sejarah. Organisasi yang lahir dari rahim tanah bugis ini telah menjadi pencetak ulama sebagai suluh di masyarakat, bukan hanya di Sulsel tapi hampir di seluruh Indonesia terutama di bagian Indonesia Timur. Kehadiran Anregurutta Ambo Dalle (Gurutta) sebagai penggerak DDI dan ulama kharismatik menjadi magnet yang begitu besar di masyarakat yang mengiringi kebesaran DDI. Sehingga tak pelak, Gurutta digelari sebagai “sang Maha Guru dari Tanah Bugis”.
Secara periodik, keberadaan DDI bisa dibagi dalam 2 (dua) fase, yaitu fase keberadaan Anregurutta Ambo Dalle dan fase pasca-Anregurutta Ambo Dalle.
Sejak DDI berdiri dibawah kepemimpinan Gurutta’, maka pada saat itulah organisasi perlahan tertata melalui kekuatan alumni Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso. Dispora alumni MAI dan perantau bugis di seluruh Indonesia menjadikan organisasi ini tersebar dengan berbagai cabang yang telah eksis. Sementara ruang pergerakan dakwah DDI berpusat pada madrasah, sehingga seolah menjadi wajib bagi anak atau alumni DDI untuk mendirikan lembaga pendidikan sebagai jangkar pergerakan. Dan tak tanggung-tanggung, gerakan berbasis madrasah itu pun sangat berhasil. Sehingga organisasi DDI menjelma menjadi kekuatan sosial yang begitu besar terutama di Sulsel ini. Hampir seluruh pesantren yang ada di Sulsel saat ini punya akar dari DDI. Selain gerakan madrasah, yang terjadi pada era tahun 1950-1980-an Gurutta’ juga tak hentinya melakukan “gerilya” di masyarakat dengan memberikan pencerahan melalui ceramah-ceramah agama, bahkan dengan semakin luasnya jaringan organisasi DDI, pergerakan Gurutta’ juga semakin luas seperti di pulau Kalimantan sampai ke luar negeri.
Kharisma dan ketokohan Gurutta’ tak bisa dipungkiri sebagai faktor dominan dalam keberhasilan DDI pada fase ini. Kharismanya sebagai ulama yang kaya ilmu, juga kekuatan kepemimpinan yang dimilikinya menjadi inspirasi oleh para warga DDI dalam mengembangkan amanah organisasi. Pada diri Gurutta’, Selain kepempinan organisatoris, juga melekat kepemimpinan spiritual, sehingga bergeraknya roda organisasi diyakini karena sosok spiritualitas yang dimiliki oleh beliau. Bagi warga DDI, doa Gurutta’ mustajab, sehingga problem organisasi apapun jika berkendala maka harus dihadapkan ke Gurutta’ untuk meminta solusinya, baik solusi tekhnis maupun solusi spiritualis. Kharisma dan ketokohan Gurutta’ bukan hanya dirasakan oleh kelas masyarakat “jelata”. Akan tetapi sampai pada elit penguasa.
Fase kedua dari gerakan DDI adalah pasca Gurutta’ mangkat pada tahun 1996. Pergeseran pola gerak organisasi drastis terjadi. Pasca Gurutta’ tidak ada, seolah organisasi “kehilangan arah” dan kendali. Yang paling nampak adalah terjadinya dualisme kepemimpinan dalam tubuh organisasi DDI. Satu poros berkiblat di Pare-pare saat itu dikendalikan oleh almarhum Prof. Dr. H. Abdul Muiz Kabry dan satunya adalah berporos di Mangkoso dan dimotori oleh almarhum KH. Abd, Wahab Zakaria dan KH Farid Wajdi dan mendeklrasikan DDI-AD.
Pada sisi lain, gerakan sosial keagamaan DDI juga meredup, semisal gerakan dakwah di masyarakat atau gerakan pemberdayaan ekonomi. Organisasi afiliasi DDI perlahan “mati”, tak bergema. Dalam ranah pendidikan, madrasah-madrasah DDI sudah kurang diminati, malah cenderung termarjinalisasi. Seolah ada kepercayaan masyarakat yang lenyap dari DDI semenjak Gurutta’ telah tiada. Pada kondisi seperti ini, DDI kehilangan pesonanya di masyarakat.
Sekali lagi, tak bisa dipungkiri bahwa ketokohan dan kharisma Gurutta’ adalah mesin penggerak organisasi. Seiring berpulangnya Gurutta, maka kharisma itu pun juga hilang. Dan tentu tiada yang bisa menggantikan sosok (kharisma dan ketokohan) beliau. Mungkin pendar kharismanya juga ada pada anak beliau, Dr. H. Rusdi Ambo Dalle, tapi tentu dengan kadar yang berbeda.
Selanjutnya, DDI perlu menghadirkan kharisma itu lagi sebagai motor penggerak organisasi. Jika dahulu kharisma itu ada pada sosok-individu Gurutta’, maka saatnya kharisma dibangun pada sistem dan manejemen organisasi yang baik dan kuat. Penguatan pada manajemen organisasi akan membentuk sistem yang kuat pula dalam mencapai tujuan. Namun satu hal yang pasti, mustahil membangun manajeman yang kuat (yang kharismatik) jikalau konflik masih terjadi.
Isu penguatan sistem organisasi ini pun pernah bergema pada muktamar ke 18 tahun 1998 di Makassar dan muktamar ke 19 tahun 2003, akan tetapi hasilnya nihil, malah yang muncul kemudian adalah tajamnya faksi-faksi. Penguatan sistem organisasi perlu dibincangkan secara serius lagi dengan melibatkan semua pihak, sebab ini adalah kerja kolektif bukan lagi bertumpu pada kekuatan personal.
Kedepan, sudah saatnya DDI dikelola dengan manajemen modern yang berlandaskan nilai-nilai tradisi. Nilai tradisi Islam yang manusiawi dan nilai tradisi luhur kebudayaan (Bugis) yang adiluhung.
Dalam kondisi seperti ini, transformasi kharisma Gurutta’ kedalam sebuah sistem adalah keniscayaan. Bagaimanapun, DDI adalah surau kita bersama, yang menaungi banyak orang, juga sebagai suluh dalam gelap, agar cahaya Islam yang damai, toleran nan sejuk senantiasa menerangi. Menerangi kita, menerangi masyarakat. Dan tentu kita enggan, surau yang telah dibangun oleh Gurutta’ ini roboh, terlebih lagi diatas pangkuan kita semua. Wallahu a’lam bissawaab []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H