AGAMA yang paling dicintai Allah SWT adalah ajaran yang lurus dan toleran (HR Ibnu Abi Syahbah dan Bukhari).Penggalan hadits itu merupakan ungkapan awal yang terlampir dalam buku ini. Setidaknya, subtansi yang dikandung atau dibahas dalam buku ini terungkap secara eksplisit dalam hadits tersebut.
Ini merupakan sebuah terobosan yang dilakukan oleh penulis, Zuhairi Mizrawi. Seorang intelektual muda NU yang juga alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir dalam memberikan percikan pemikiran, kegelisahan, dan refleksi atas dinamika keberagaman dan skeptisme hidup kita di republik ini.
Buku setebal 526 halaman ini, mengajak pembaca untuk mereview serta menerawang jauh sebuah mutiara kehidupan yang sangat substansial dalam ajaran Islam yakni toleransi.Dikemas apik dengan pengayaan kajian Islam klasik dan kajian Islam kontemporer sebagai landasan pikir, menjadikan buku ini kaya persfektif.
Diawali dengan rekonstruksi kritis atas sejarah pergulatan Alquran pada zaman Rasulullah, dan pasca Rasulullah membuka cakrawala paradigma kita untuk melihat persentuhan Alquran dengan konteks sosial politik dan kebudayaan yang mengitarinya pada masa lalu secara menyeluruh.
Alquran sebagai kitab suci hadir dan ada dalam sebuah ranah sosial yang menghadapi hambatan, dan tantangan zaman sehingga diperhadapkan pada kondisi riil masyarakat.
Di sisi lain, Alquran tidak saja disentuh dalam rangka untuk menggali pelajaran dan ajaran, melainkan juga disentuh dengan tangan politis sesuai selera penguasa.
Keadaan ini menjadikan Alquran terperangkap dalam situasi otoritarianisme politik, yang telah menyumbat Alquran sebagai kitab yang terbuka dan berujung pada fatwa keagamaan yang cenderung memihak kekuasaan, membunuh kreativitas, dan cenderung menindas kelompok lemah dan kalangan minoritas (hal. 30).
Padahal sejatinya, Alquran adalah pembela yang lemah, penghancur yang bathil, dan pemberi solusi bagi kehidupan. Pada konteks ini, Alquran adalah sebuah teks yang otonom dimana umat Islam "leluasa" untuk "menjamah" Alquran dengan mengkaji dan mengambil kepentingan tertentu darinya.
Tafsiran atas Alquran kini menjadi posisi penting dari semuanya.Akan tetapi, persoalan tafsir kemudian menjadi pekik dan menjadi zona kompetisi otoritas. Di zaman Nabi, tafsir atas Quran sebagaimana yang digambarkan dalam buku ini adalah tafsir atas Quran sendiri atau Alquran dengan sunnah.
Karena yang terjadi adalah wahyu yang satu menafsirkan wahyu yang lain, sehingga Alquran menjadi barometer dalam pengambil kebijakan. Tafsir baru kemudian muncul seiring dengan ekspansi wilayah Islam ke beberapa tempat seperti ke wilayah Mesir, Irak, Suriah,
Yaman, dan sebagainya dengan diberikannya mandat kepada sahabat-sahabat nabi dalam mengambil keputusan yaitu dengan jalan Ijtihad (Hal.32).Ijtihad inilah yang dinamakan tafsir.