Mohon tunggu...
M. Lutfi Mustofa
M. Lutfi Mustofa Mohon Tunggu... PNS -

Suka membaca, suka menulis, dan berharap ridho Allah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Penelantaran Anak, Cermin Retak Kesehatan Mental Masyarakat Kita

18 Mei 2015   07:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari terakhir ini hampir semua mass media menyajikan pemberitaan tentang kasus penelantaran lima anak oleh kedua orang tua kandungnya sendiri di Cibubur, Jakarta. Ironisnya, pelaku tindak kekerasan fisik maupun psikis tersebut notabeneh adalah seseorang yang telah mengenyam pendidikan pasca sarjana dan mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Ibu Kota. Sekalipun kasus penelantaran anak semacam itu bukan yang pertama kalinya terjadi di negeri yang dikenal ramah dan religius ini, justru karena itu patut menjadi keprihatinan dan perhatian semua komponen masyarakat. Bukan pula karena stasiun televisi, koran harian, hingga beragam media sosial di internet sampai detik ini ramai memperbincangkannya, namun kejadian ini telah menyentuh bukan saja masalah pengasuhan dalam rumah tangga, lebih dari itu sudah bertemali dengan masalah publik, yakni kesehatan jiwa (keswa) masyarakat atau kesehatan sosial-psikologis.

Sebagaimana telah jamak disaksikan oleh masyarakat melalui media elektronik, bahwa pada saat polisi melakukan pemerikasaan di TKP, ternyata ditemukan pula adanya bingkisan sabu dan alat penghisap yang diduga sudah pernah dipakai oleh orang tua korban. Dari temuan ini, maka kasus penelantaran anak tersebut menjadi tidak berdiri sendiri, karena adanya faktor penyerta lain, yakni masalah penyalahgunaan narkotika. Dalam konteks yang terakhir ini, pelaku penelantaran pada saat yang sama juga bisa berkedudukan sebagai “korban” dari peredaran gelap dan penyalahgunaan napza, yang mengandaikan adanya pemberian tindakan rehabilitasi dari pemerintah. Sampai pada titik ini masalahnya menjadi tidak sederhana lagi ketika harus menentukan tindakan yang tepat bagi “pelaku”. Pendekatan hukum di sini tentu saja menjadi tidak cukup, karena penanganan terhadap kasus yang bertemali dengan masalah kesehatan sosial-psikologis memerlukan tindakan serentak dan menyeluruh.

Mengikhtiarkan kesehatan sosial-psikologis berbeda dengan mengupayakan kesehatan fisik-personal seseorang, karena dimensi kesehatan yang pertama lebih kompleks indikatornya. Artinya, gangguan proses mental dan perilaku seseorang di ranah--atau yang berdampak ke--publik itu tidak selamanya berjalan searah, dari individu ke masyarakat. Sebaliknya, bisa jadi karena tatanan sosial yang tidak sehat menyebabkan individu atau kelompok di dalam masyarakat mengalami hambatan-hambatan psikologis, sehingga mendorong munculnya berbagai proses mental dan perilaku yang merugikan secara personal maupun komunal. Pada aras sosial tersebut peran pemerintah lebih dibutuhkan dan dinanti program-programnya untuk meningkatkan kesehatan jiwa masyarakatnya. Dalam hal ini, Presiden Jokowi pada rapat kabinet yang pertama berpesan agar para menteri dalam “Kabinet Kerja” melepaskan ego sektoralnya masing-masing merupakan seruan yang tepat. Selama ini, banyak kementerian bekerja sendiri-sendiri sehingga penanganan masalah yang berkembang di masyarakat terkesan sporadis dan tidak menyentuh ke akarnya. Oleh karena itu, terkait dengan penyelesaian kasus penelantaran anak tersebut secara kuratif, preventif, dan promotif ke depannya, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Pariwisata, Menteri Pertanian, serta Kepolisian RI perlu segera menjalin kolaborasi dan meningkatkan koordinasi untuk mengangkat kesehatan sosial-psikologis masyarakat.

Johana E. Prawitasari, Pensiunan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, menyebutkan konsep sehat secara sosial-psikologis berjalinan erat dengan empat aspek dalam kehidupan masyarakat. Pertama,kesempatan dan kemampuan setiap orang untuk belajar, baik secara formal maupun informal. Disini, rasio antara orang yang terdidik dan terlatih dengan jumlah penduduk bisa dijadikan sebagai indikatornya. Kedua, kesempatan dan kemampuan setiap orang untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Indikatornya bisa dilihat dari rasio antara mereka yang bekerja formal dengan jumlah penduduk; seberapa luas lapangan kerja yang tersedia; jumlah orang-orang yang mampu menggerakkan pasar di sektor informal; rasio jumlah mereka yang berjualan dengan jumlah penduduk; dan seberapa banyak tenaga kerja yang telah terserap di sektor formal maupun informal.Ketiga, kesempatan dan ketersediaan waktu dan tempat bagi setiap orang untuk bermain secara nyaman dan aman. Dalam hal ini, derajat kesehatan jiwa masyarakat dapat diukur dari seberapa banyak tempat dan tinggi intesitas yang dimiliki masyarakat untuk bermain bersama orang lain tanpa adanya rasa takut. Keempat, kesempatan dan kemampuan setiap orang untuk bercinta, dalam arti menggunakan cinta-kasihnya guna menumbuhkan perdamaian di antara sesamanya. Banyaknya pertengkaran, pembunuhan, perkelahian, dan peperangan dapat dijadikan indikator rendahnya kesehatan jiwa masyarakat. Begitu pula banyaknya jumlah pasangan hidup dalam masyarakat yang saling mengembangkan pengertian dan pemahaman; jumlah anggota masyarakat yang memiliki sahabat sejati; dan jumlah individu yang melaporkan memiliki teman dekat dan memperoleh dukungan sosial yang memadai, semuanya itu merupakan indikator kesehatan sosial-psikologis.

Hidup di tengah masyarakat yang secara sosial-psikologis tidak sehat, berpotensi mendorong setiap orang berada dalam situasi yang beresiko, baik sebagai pelaku maupun korban dari tindakan yang merugikan hingga membahayakan diri sendiri dan orang lain. Data World Health Organization (WHO) yang dipresentasikan oleh Dirjen Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI tahun 2015 menunjukkan, bahwa 24% warga negara Indonesia yang menjadi pasien di pelayanan primer memiliki diagnosis gangguan jiwa, mulai dari depresi, ansietas, dan penggunaan napza. Data lain menunjukkan, bahwa di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kesenjangan pengobatan (treatment gap) pada masalah gangguan jiwa masih sangat besar, yakni dapat mencapai >90%. Hal ini berarti, bahwa <10% orang dengan gangguan jiwa yang telah mandapatkan bantuan terapi di fasilitas kesehatan.

Ibarat berkaca pada “cermin retak”, fenomena penelantaran anak tersebut adalah satu di antara sejumlah serpihan gambar lainnya, seperti korupsi, prostitusi, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, kemiskinan, perempuan maupuan anak-anak dalam situasi beresiko, dan seterusnya yang tidak lain merupakan refleksi dari terpuruknya kesehatan masyarakat kita. Untuk merapatkan kembali retakan cermin tersebut, sehingga tidak tampak kesenjangan antara kesehatan sosial-psikologis dengan indikatornya--melanjutkan gagasan guru besar psikologi di atas--diperlukan adanya gerakan massif yang disebut dengan psikologi komunitas.

Dasar dari gagasan psikologi komunitas adalah pengakuan dan penghargaan terhadap kemajemukan atau pluralitas, serta menjadikannya sebagai social capital masyarakat. Keragaman agama, bahasa, ras, suku, dan tradisi-tradisi lokal dengan segenap kearifan di dalamnya merupakan sumber kekayaan yang sangat berharga bagi pengembangan atau pemberdayaan komunitas. Pendekatan psikologi komunitas untuk menangani penelantaran anak, penyalahgunaan narkoba, kemiskinan, dan masalah-masalah psikologis yang lain dirancang untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam lingkungan harian kelompok sasaran (klien), menurunkan tingkat penyimpangan atau gangguan perilaku, dan mempromosikan gaya hidup yang lebih sehat.

Psikologi komunitas menyajikan segenap program dan panduan mendasar terhadap individu maupun kelompok di dalam masyarakat, yang memusatkan perhatian pada skills berkomunikasi, penyelesaian masalah, strategi menghindar atau menolak berbagai pengaruh buruk lingkungan, dan memenuhi berbagai kebutuhan kelompok sasaran sebagai bagian dari komunitas. Kombinasi antara langkah-langkah praktis di dalam ilmu psikologi dengan kekayaan pengetahuan dan kearifan lokal yang digali dari tradisi komunitas, pendekatan ini menawarkan perlakuan-perlakuan baru terhadap semua bentuk dukungan dan tindakan yang selama ini dilakukan dalam mengatasi masalah dan gangguan psikologis di masyarakat. Inilah saatnya para akademisi dan ilmuwan psikologi di berbagai perguruan tinggi mengambil bagian terpenting dan tanggung jawab terbesar untuk menyiapkan tatanan masyarakat yang sehat. Berbagai masalah negeri yang gencar ditayangkan di media elektronik, selama semuanya masih berhubungan dengan perilaku manusia, maka di sana kontribusi dan jasa psikologi sedang dinanti-nantikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun