Mohon tunggu...
M. Lutfi Mustofa
M. Lutfi Mustofa Mohon Tunggu... PNS -

Suka membaca, suka menulis, dan berharap ridho Allah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menakar Ulang Idealisme Pendidikan Nasional

9 Juli 2015   10:33 Diperbarui: 9 Juli 2015   10:38 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam bahasa agama (Islam), terdapat adagium Ilahiah yang bisa dipakai untuk memulai tulisan ini, bahwa “Dialah Allah yang telah menciptakan hidup dan mati sebagai ujian bagi manusia, agar dapat diketahui siapa di antara mereka yang paling baik perilakunya”. Artinya, konsep dasar kehidupan manusia secara personal maupun komunal adalah mengandaikan adanya sejumlah item persoalan atau masalah yang seharusnya mereka jawab secara cepat, tepat, dan benar sepanjang masa hayat (life span). Dengan kata lain, tidak satu individu, komunitas (lembaga, organisasi, maupun institusi), masyarakat, atau bahkan sebuah bangsa yang paling besar sekalipun bebas dari permasalahan kehidupan. Di antara mereka, ada yang sanggup menyelesaikan permasalahan dengan baik, namun tidak sedikit yang ceroboh dan akhirnya gagal. Pada titik inilah, misalnya, sebagai sebuah bangsa kita bisa mengkatakan, bahwa bukan jumlah penduduk dan bukan pula kekayaan alam yang menjadi kekuatan. Akan tetapi, lebih pada seberapa besar kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk menyelesaikan segenap persoalan atau permasalahan dalam berbagai segi kehidupan bangsa ini. Bagaimana kemampuan dan cara-cara kita menyelesaikan korupsi, penyalahgunaan dan peredaran narkoba, kekerasan terhadap perempuan dan anak, rendahnya produktivitas masyarakat, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, defisit perdagangan, hiruk pikuk ekspor-impor, fluktuasi nilai tukar Rupiah, kerusakan lingkungan, kesulitan swasembada pangan, serta kesadaran mutu masyarakat di bidang industri, politik, sosial, maupun keagamaan. Bahkan, pendidikan Nasional sebagai komponen paling penting yang mendapatkan amanah langsung UUD 1945 untuk menghasilkan dan menyediakan generasi bangsa yang cerdas-berbudi pekerti luhur rupanya juga masih tertatih-tatih untuk memenuhi kebutuhan menjawab semua persoalan dalam negeri sendiri, baik secara kuantitas maupun kualitas.  

Membawa permasalahan-permasalah di atas pada alam penalaran logis sekedar untuk mencoba memahami keadaan kita sebagai sebuah bangsa saja sudah cukup menyesakkan nafas. Bagaimana jadinya nanti manakala arus barang, jasa, investasi, modal, dan bahkan pekerja profesional semakin bergerak bebas, keluar-masuk dari dan ke berbagai negara di ASEAN. Kalau sampai saat ini para pecinta sepak bola sering menangis histeris, karena Indonesia kalah bertanding dengan Malaysia di piala AFF hingga ASEAN Games, maka sangat besar kemungkinan pada saatnya akan lebih banyak lagi masyarakat yang “pingsan” karena dihantam oleh besarnya arus pasar regional dalam beraneka segi kehidupan di atas. Dinamika global juga bukan saja akan menghapus berbagai rintangan ekonomi (economic barriers) antarnegara di seluruh dunia sehingga arus barang dan jasa akan semakin besar, lebih dari itu ancaman terjadinya abrasi budaya, tradisi, ideologi, dan bahkan praktek keagamaan secara Nasional akan lebih menuntut kewaspadaan, kehati-hatian, komitmen masyarakat dan pemerintah yang lebih bulat.

Lantas, bagaimana sebaiknya kita memahami pendidikan Nasional sebagai salah satu alat utama yang bisa diandalkan menciptakan generasi bangsa yang kuat dan bermartabat. Dalam hal ini, pemerintah memang telah menyusun Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagai referensi mutu yang baik dalam pengeloaan lembaga pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Bahkan, pemerintah juga telah menyediakan semua piranti hukumnya, misalnya, Undang-Undang SISDIKNAS, Undang-Undang Guru dan Dosen, Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT), hingga piranti pendukungnya seperti, Sistem Pengendalian Mutu Internal dan Eksternal (SPMI/E) yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal maupun Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Piranti-piranti hukum atau regulasi tersebut memang sudah selazimnya disusun oleh pemerintah sebagai perwujudan fungsi regulator dan kontrol terhadap pelaksanaan pendidikan secara Nasional. Akan tetapi, mengharapkan mutu dan mewujudkan idealisme pendidikan Nasional melalui penyediaan regulasi tentu saja sangat tidak memadai jika tidak disertai dengan penegakan produk-produk hukum tersebut di lapangan. Apalagi, juga tidak ditunjang oleh pembinaan dan pemberdayaan institusional pendidikan (institutional empowerment of education), misalnya, melalui mekanisme penguatan kapasitas (capacity building) para pemimpin, manajer, dan staf, baik di tingkat Kementerian, Lembaga, maupun Institusi (K/L/I) di pusat maupun di daerah-daerah yang dilakukan secara konkrit, riil, terukur, dan berkelanjutan. Gambaran tentang ketidakcukupan intervensi regulasi dalam penjaminan mutu pendidikan Nasional tersebut terlihat pada sinyalemen BAN-PT bahwa hanya sekitar 10% dari sekitar 4300 perguruan tinggi yang mampu menyelenggarakan pendidikan bermutu, terakreditasi (A), dan menyediakan lulusan yang akseptabel. Selain itu, secara Nasional, jumlah lulusan perguruan tinggi (termasuk program D3 dan D4) hanya berkisar 7%. Statistik ini masih tertinggal jauh apabila dibandingkan dengan Malaysia yang mampu menyediakan tiga kali lipat lebih besar dari jumlah yang dihasilkan oleh pendidikan Nasional kita. Belum lagi, apabila secara kualitatif diajukan pertanyaan, apakah perguruan tinggi yang memperoleh akreditasi (A) itu artinya bermutu? Jika jawabnya tidak dengan sendirinya seperti itu, lantas bagaimana dengan sekian banyak yang masih memperoleh nilai B aplagi C.  

Menyaksikan ilustrasi tentang keadaan pendidikan tinggi tersebut, ada baiknya setiap insan akademik menakar kembali idealismenya, baik secara personal maupun institusional. Hal ini mendesak untuk segera dilakukan, karena hampir tidak mungkin perguruan tinggi mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas manakala pemimpin institusi dan civitas akademikanya nihil idealisme? Idealisme disini bukan sekedar dimaksudkan sebagai pernyataan visi, misi, dan tujuan universitas di atas kertas, yang kerap hanya menjadi dokumen-dokumen “bisu” di dalam almari besi. Idealisme yang dimakasudkan disini, meminjam pengertian Willy Susilo (20015), adalah suatu konsep perjuangan tiada henti terhadap sesuatu yang dipandang bernilai untuk diperjuangkan agar menjadi kenyataan. Setiap perjuangan pasti menuntut adanya sikap konsisten dan konsekuen untuk apa yang sedang diperjuangkan, termasuk kesediaan untuk berkorban secara maksimal apabila diperlukan, mulai dari harta, tenaga, pikiran, dan berbagai bentuk kepentingan pribadi. Semangat ini justru berbeda dengan kebijakan remunerasi dan sertifikasi guru atau dosen yang kerap menciptakan imajinasi material-finansial. Bukan motivasi berkorban untuk sebuah idealisme yang timbul, sebaliknya tuntutan atas kenyamanan dan kelonggaran yang akhirnya mengemuka.

Indonesia hari ini, secara psiko-sosial, kondisinya sama memprihatinkannya dengan masa-masa sebelum kemerdekaan. Artinya, dalam kondisi menghadapi tekanan psikologis, sosial, ekonomi, politik, dan budaya dari dalam maupun luar negeri seperti sekarang ini dunia pendidikan tinggi diharapkan bisa menjadi contoh dalam hal menegakkan idealisme di atas. Jika alam pendidikan Nasional, khususnya pendidikan tinggi tidak segera ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tutwuri handayani dalam meningkatkan bobot idealisme pendidikan Nasionalnya, maka jangan berharap bangsa ini akan segera keluar dari kemelutnya yang ada. Regulasi dan sistem pengendalian mutu apapun yang diamanatkan oleh pemerintah terhadap perguruan tinggi, selama tidak disertai dengan pemupukan idealisme, maka yang akan terjadi hanyalah “abal-abalisme”. Penyelenggaraan kegiatan akademiknya akan menjadi asal-asalan, karena tidak diciptakan sistem utama dan penunjangnya, para dosennya jarang hadir mengajar apalagi untuk berkantor membantu aktivitas tata kelola institusinya, dan kalaupun mereka hadir mengajar tidak kerkendali oleh sistem administrasinya, rasio jumlah mahasiswa dan dosen terlalu jauh, sehingga dosen mengajar terlalu banyak mata kuliah dan tidak sempat memberikan koreksi apalagi feedback terhadap tugas mahasiswa. Jika kondisi perguruan tinggi semacam ini juga terjadi pada mereka yang berstatus akreditasi (A), maka masih adakah harapan-harapan terhadap dunia pendidikan Nasional di atas akan terpenuhi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun