Di tengah meningkatnya kebutuhan akan hunian layak di Indonesia, muncul program ambisius dari pemerintahan baru untuk membangun 3 juta rumah. Program ini didorong oleh krisis backlog perumahan, yang merujuk pada ketimpangan antara jumlah rumah yang tersedia dan jumlah keluarga yang membutuhkan. Namun, fenomena ini bukan sekadar tentang jumlah.Â
Kenyataannya, konsep backlog sering kali hanya fokus pada kuantitas dan mengabaikan kualitas, keterjangkauan, serta aksesibilitas. Akibatnya, tercipta apa yang disebut "ilusi pemenuhan perumahan," di mana ribuan rumah formal terbangun, tetapi tidak selalu mampu memenuhi kebutuhan nyata masyarakat.
Secara konsep, backlog perumahan di Indonesia dihitung sebagai selisih antara jumlah rumah yang tersedia dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh keluarga. Sederhana dan tampak logis, tetapi pada praktiknya, perhitungan ini penuh kekurangan. Dalam konteks Indonesia, perumahan sering kali terbangun di lokasi yang jauh dari pusat aktivitas ekonomi, pendidikan, atau layanan kesehatan.Â
Hasilnya, meskipun rumah ada, jarak yang jauh dan biaya transportasi yang tinggi membuatnya tidak layak huni bagi sebagian besar calon penghuni. Fenomena ini menciptakan kesenjangan di mana rumah berdiri kosong sementara kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah tetap tidak terpenuhi.
Faktor berikutnya yang menciptakan ilusi pemenuhan perumahan adalah maraknya spekulasi properti. Banyak pengembang dan investor melihat properti sebagai instrumen investasi yang menguntungkan. Maka, tidak sedikit perumahan formal yang dibeli untuk tujuan investasi, bukan sebagai tempat tinggal. Rumah-rumah ini dibiarkan kosong dengan harapan nilai properti meningkat di masa depan.Â
Dampaknya, meskipun secara kuantitas backlog berkurang, nyatanya rumah-rumah ini tidak dihuni oleh mereka yang membutuhkan, tetapi justru menjadi aset menguntungkan bagi segelintir investor.
Lebih jauh, ada masalah keterjangkauan. Program pembangunan 3 juta rumah ini tidak selalu didasarkan pada kemampuan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi lebih sering mengutamakan kuantitas atau harga pasaran yang dirancang untuk mencapai target bisnis.Â
Rumah-rumah formal yang dibangun seringkali dibanderol dengan harga yang tinggi, membuat masyarakat menengah ke bawah kesulitan untuk memiliki hunian tersebut.Â
Dalam kondisi ini, pembangunan perumahan lebih terlihat sebagai pemenuhan angka target daripada sebagai upaya konkret menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat yang paling membutuhkan.
Namun, bukan hanya masyarakat kelas bawah yang terpengaruh oleh ilusi backlog ini. Banyak masyarakat kelas menengah yang, meskipun memiliki kemampuan membeli rumah, tetap kesulitan menemukan hunian di lokasi yang sesuai dengan kebutuhan.Â