[caption id="" align="aligncenter" width="372" caption="(sumber: pontianak.tribunnews.com)"][/caption]
Inilah wajah demokrasi kita, sistem yang coba diaktualisasikan secara menyeluruh hingga lapis terakhir jabatan adminstratif di suatu wilayah, sementara kita ketahui bersama bahwa sebagian besar warga negara belum mempunyai pendidikan politik yang kapabel untuk menggunakan hak-hak suaranya secara bebas, tanpa infiltrasi dari kepentingan-kepentingan yang selalu menyertainya. Dan akhirnya, seperti aritmetika sederhana, jawabannya sangat mudah diketahui yaitu para pemilik kapital besarlah yang berhak menguasai singgasana.
Coba kau lihat kelakuan para raja-raja kecil produk desentralisasi yang menguasai wilayah otonominya masing-masing. Mereka berkuasa dengan berbekal senjata pamungkas yang bernama: Mutasi. Bila musim pilkada berlangsung, para perangkat daerah yang duduk di kursi-kursi pimpinan menjadi gelisah. Gelisah karena gempa perubahan sekecil apapun, sewaktu-waktu bisa mendatangkan gelombang tsunami mutasi yang maha-dahsyat. Yang bisa menjadikan mereka seorang pesakitan di kantor dengan gelar non-job. Para oknum yang mencoba adaptif tentunya harus mampu meng-evolusi-kan lidahnya agar menjadi penjilat yang lihai, karena kalau tidak, itu artinya ia harus ikhlas dan lapang dada tergerus oleh seleksi alam artifisial. Sadis memang.
[caption id="" align="aligncenter" width="317" caption="Mimpi Buruk Coy..! (sumber: kamilaqurr.blogspot.com)"][/caption]
Inilah demokrasi kita yang kebablasan. Cuma prosesnya saja yang (katanya) demokratis, namun hasil akhirnya melahirkan feodalisme. Ironis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H