Anak kota…
Begitu sebutan teman-temanku setelah kuperkenalkan asalku. Bukan hanya itu, aku sendiri baru menyadari kalau aku ini anak ibu kota. Yang sejak lahir sampai sekarang bahasa sapaan “aku-kamu” itu asing di telinga.
Ya, aku terbiasa dengan sapaan “lo-gue”. Bukan, bukan demi terdengar gaul atau buat keren kerenan, ini sebuah kebiasaan yang memang sudah ditanamkan kedua orang tua dan semua keluargaku dirumah sebagai bahasa sehari-hari, bisa dibilang ini bahasa ibu. Dimana kita semua sepakat bahwa bahasa pengantar terbaik anak adalah bahasa ibu. Agar bagaimanapun kemajuan dunia datang, budaya tetap tidak hilang.
Ketika sekarang aku di rantauan, Orang bilang, menjadi anak Jakarta tak lepas dari pergaulan bebas. Ketika mereka bertanya padaku tentang rokok, miras, dan pergaulan malam ala anak muda ibu kota, jawabku hanya satu, “aku bukan bagian dari itu, tak pernah sekalipun aku mencobanya”. Tapi, tak satupun dari mereka percaya.
Padahal, bagaimana mungkin aku tau itu, sejak masuk usia remaja, dimana aku duduk di bangku SMP, aku akrab dengan orang orang baik, pergaulan yang agamis dan akademis. Aktivitasku? Ya jelas, tak jauh-jauh dari kajian rohis dan prestasi olimpiade sains. Yang ada di benakku, ini ibu kota, aku warganya, pilihannya cuma dua, turut andil membangunnya atau menjadi sampahnya.
Jakarta, hari itu aku dan kamu berjuang untuk meraih apa yang kita tuju. Namun kita tak saling temu. Ah, iya. Saat itu kita bahkan belum saling kenal. Bagaimana mungkin akan saling sapa.
Kita ada di BKN Kanreg V untuk seleksi kedua sebuah program beasiswa terbaik di negeri ini. Kamu jauh jauh dari kota yang ada di sebrang pulau jawa ini. Kita berasal dari kota yang terpisah selat sunda. Kemudian, kita melanjutkan tahapan tes ini di salah satu kampus sekolah tinggi di bintaro sector V. Namun, lagi, kita belum bertemu. Padahal, kita satu group dengan waktu tanggal dan tempat yang sama saat FGD. Kelompok kita bersebelahan. Beginilah cara Tuhan.
Sampai ketika bulan berikutnya kita justru bertemu di Bandung. Kota yang kau sebut ia dengan kenangan dan kau izinkan aku memberi perasaan. Bandung memang menawarkan banyak keindahan, dengan iklim yang penuh kesejukan.
Bandung membuat kita tenang dalam kenyamanan. Kita larut membicarakan masa depan. Nyaliku, masih tak karuan, mengingat daerah asal kita yang penuh perbedaan. Jujur, aku takut ketinggian. Aku belum bisa mengalahkan phobia ini demi naik pesawat terbang mendatangi keluargamu, jadi bukan tentang keraguan.
Sekali waktu, kau yang begitu suka dengan ciri khas tiap kota di negeri ini bertanya padaku tentang Jakarta. Aku betawi asli. Rumahku di Cempaka putih. Kali ini aku ceritakan saja tentang Jakarta Timur, tempat kita berjuang dulu. Bagian dari Jakarta yang mempunyai satu-satunya kampus negeri, yaitu Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Kau tahu kan aku alumninya?
Oh iya, Jaktim ini punya Velodrome juga yang digunakan sebagai salah satu tempat terlaksananya “Asian Games 2018” kemarin. Jaktim juga memiliki tempat wisata yang sangat menjual, dari segi estetika sampai budaya, yaitu Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Terkenal dengan bangunan khas budaya di seluruh Indonesia, rekreasi, anak jalanan dan ilmu pengetahuan yang saling terkait. Jaktim menjadi salah satu tempat untuk menikmati jajanan khas betawi dan segala propertinya, yaitu didaerah “Condet”.