Mohon tunggu...
Muhammad Kunta Biddinika
Muhammad Kunta Biddinika Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Yogyakarta, Indonesia. Sedang tinggal di Yokohama, Jepang. Menyukai berbagai hal tentang nuklir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anomali Tiga Tahun Pasca-Kecelakaan PLTN Fukushima

24 Maret 2014   17:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:33 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395631641910436840

Sebenarnya sudah sejak tiga bulan setelah terjadinya kecelakaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima, anomali arah perkembangan energi nuklir dunia telah dirasakan oleh Dirut Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat itu, Dahlan Iskan.

Di tulisan berjudul “Nuklir Tidak Habis Pikir” (Jawa Pos, 18 Mei 2011) itu, Dahlan mengungkapkan penasarannya pada Korea Selatan sebagai tetangga terdekat Jepang yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kecelakaan tersebut. Dia menceritakan kunjungannya ke salah satu kompleks PLTN di Korsel (Kompleks Wolsong) hanya berselang dua bulan setelah PLTN Fukushima mengalami kecelakaan. Disitu, ada empat PLTN yang masih terus beroperasi, sementara dua PLTN lainnya sedang dalam tahap konstruksi. Bahkan salah satunya dikebut agar bisa selesai lebih awal dari yang sudah dijadwalkan.

Dua PLTN yang dibangun di kompleks tadi adalah dua dari 5 (lima) PLTN yang sedang dibangun di seluruh Korsel saat terjadinya kecelakaan Fukushima. Kesemuanya terus berjalan pembangunannya, bahkan dipercepat. Kecelakaan Fukushima tidak membuat pembangunan satu PLTN pun tertunda, apalagi dihentikan.

Saat ini, tiga tahun pasca-Fukushima, satu dari dua PLTN yang dikunjungi Dahlan saat konstruksinya tadi, sudah mulai beroperasi sejak dua tahun lalu. Benar-benar lebih cepat dari jadwal semula. Satunya baru akan mulai beroperasi secara komersial pada Juli 2014 nanti.

Apakah itu berarti tinggal tiga PLTN lagi di Korsel yang masih belum selesai konstruksinya pasca-Fukushima? Ternyata tidak. Masih tetap ada lima PLTN yang statusnya under construction. Pasca-Fukushima, Korsel ternyata tetap memulai pembangunan PLTN baru lagi pada Juli 2012 dan Juni 2013 lalu. Bahkan, pada September 2014 nanti, ada satu PLTN lagi yang akan dimulai konstruksinya. Anomali ternyata masih berlanjut.

[caption id="attachment_300239" align="aligncenter" width="518" caption="Beberapa petugas di PLTN Fukushima Daiichi sedang memeriksa kemungkinan terjadinya kebocoran air berkadar radioaktif tinggi (Sumber gambar: TEPCO)"][/caption]

Apakah anomali tersebut hanya terjadi di Korsel saja? Saat ini di seluruh dunia, tiga tahun pasca-kecelakaan Fukushima, ada 72 PLTN yang sedang dalam tahap konstruksi dan tersebar di 15 negara.

Padahal saat terjadinya kecelakaan Fukushima, baru ada 53 PLTN yang sedang dalam tahap konstruksi dan baru tersebar di 13 negara. Ini berarti paling tidak ada 19 PLTN yang pembangunannya dimulai justru dalam kurun waktu 3 tahun ini setelah terjadinya kecelakaan Fukushima. Itupun jika dianggap ke-53 PLTN tadi tidak ada yang selesai masa konstruksinya dalam kurun 3 tahun tersebut. Jika ada diantara 53 PLTN tadi yang konstruksinya selesai dalam kurun 3 tahun tadi, maka jumlah PLTN yang dibangun pasca-Fukushima tentu lebih dari 19 PLTN.

Dua negara bahkan malah memulai membangun PLTN pertamanya setelah terjadinya kecelakaan Fukushima, yaitu Belarusia dan Uni Emirat Arab (UEA). Keduanya belum pernah punya PLTN sebelumnya. Bahkan UEA adalah negara kaya minyak dan gas yang tidak sedang mengalami krisis energi saat memulai pembangunan PLTN-nya. Yang lebih anomali lagi, Belarusia termasuk negara yang paling parah menerima dampak kecelakaan PLTN Chernobyl di Ukraina (saat itu masih di bawah Uni Soviet) pada tahun 1986.

Sebelum terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima tiga tahun lalu kecelakaan PLTN Chernobyl adalah satu-satunya kecelakaan terparah sepanjang sejarah yang menimpa sebuah fasilitas nuklir.

Hampir sepertiga wilayah Belarusia terkena jatuhan (fall out) debu radioaktif yang dilepaskan dari PLTN Chernobyl. Kontaminasi oleh bahan radioaktif tersebar luas di sana. Di negara itu pula tercatat penderita kanker kelenjar tiroid termasuk yang paling banyak akibat masuknya unsur radioaktif ke tubuh manusia.

Alih-alih kapok apalagi takut dengan nuklir, Belarusia justru memulai pembangunan PLTN pertamanya pada November 2013 lalu.

Bagaimana dengan Jepang sendiri yang ditempati PLTN Fukushima? Meski di awal-awal pasca-kecelakaan Fukushima, banyak yang memprediksi bahwa Jepang bakal segera mengikuti Jerman meninggalkan energi nuklirnya, tetapi anomali lagi-lagi terjadi disana.

Penghapusan (phasing out) PLTN yang mestinya didasarkan pada keputusan politik yang kuat seperti di Jerman, ternyata tidak bisa diambil secara tegas oleh Jepang. Bahkan pada pemilu anggota parlemen Jepang (Diet), caleg-caleg yang mengusung isu penghapusan PLTN tidak dapat mengantongi kemenangan mutlak.

Tidak cukup sampai disitu, pada pemilu Gubernur Tokyo bulan Februari lalu, calon-calon yang mengusung isu penutupan PLTN ternyata kalah oleh kandidat yang pro-PLTN. Pandangannya terhadap PLTN dianggap isu krusial bagi seorang Gubernur Tokyo mengingat PLTN Fukushima dimiliki oleh TEPCO yang merupakan BUMD-nya Pemerintah Metropolitan Tokyo.

PLTN-PLTN di Jepang banyak yang dimiliki oleh BUMD-BUMD. Karenanya, seorang kepala pemerintah daerah (Prefektur) berperan penting dalam keputusan beroperasinya sebuah PLTN walaupun secara teknis, hanya NRA (Nuclear Regulatory Agency, BAPETEN-nya Jepang) yang bisa memberikan lampu hijau sebuah PLTN beroperasi.

Karena itu, tidak heran jika hingga kini sudah ada 16 PLTN yang mengajukan izin ke NRA untuk beroperasi kembali pasca-kecelakaan Fukushima. Dari keseluruhan 48 PLTN yang masih ada di Jepang setelah ditutupnya 6 PLTN Fukushima, hanya 2 PLTN yang saat ini sudah beroperasi kembali.

Itupun sudah menimbulkan banyak protes di kalangan masyarakat Jepang yang tersohor hampir tidak pernah protes itu. Hampir tiap pekan, masih bisa ditemui kelompok-kelompok pendemo anti-nuklir yang melakukan aksinya di pusat kota dan kantor pemerintahan di kota-kota besar. Bagi masyarakat Jepang, melakukan aksi demonstrasi pun bisa jadi merupakan sebuah anomali yang hanya muncul pasca-kecelakaan Fukushima.

Bagi Jepang, PLTN bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan listriknya saja, tetapi juga untuk dijual teknologinya demi menggerakkan perekonomiannya yang kian lesu.Sungguh aneh memang saat mendengar Inggris dan Bulgaria justru akan membangun PLTN buatan Jepang pasca-kecelakaan Fukushima. Perusahaan Jepang Hitachi yang akan membangun PLTN di Inggris, sedangkan Toshiba yang akan membangun di Bulgaria.

Hingga 5 atau 10 tahun pasca-Fukushima nanti, kita masih akan banyak menjumpai anomali-anomali di dunia pemanfaatan energi nuklir, khususnya sebagai sumber energi (PLTN).

Bisa jadi bagi dunia, hal-hal tadi bukanlah anomali. Kita saja yang menganggapnya sebagai anomali karena perkembangan informasi dan pengetahuan kita tentang teknologi tersebut berjalan sangat lambat dibandingkan dengan perkembangan sains dan teknologinya itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun