Mohon tunggu...
Khasbi
Khasbi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Cerita Kehidupan

Mahasiswa IAINU Kebumen. Suka membaca, menulis dan diskusi. Penyuka wacana kritis yang progresif-revolusioner. Aktif di organisasi PMII dan juga salah satu penggagas Institut Literasi Indonesia (ILI).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Islamisasi Politik Prof. Dr. Kuntowijoyo

1 Agustus 2019   00:10 Diperbarui: 1 Agustus 2019   00:20 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Epistemologi Politik Islam

Kuntowijoyo mendedel kesadaran umat Islam dengan menghidangkan sepiring pengetahuan tentang epistemologi politik. Dalam sepiring hidangan itu, Kuntowijoyo membagi menjadi 4 sub yang sangat prinsipiel.

Pertama, epistemologi relasional. Menurutnya, epistemologi rasional adalah cara berpikir integralistik. Yaitu sebuah pandangan yang meyakini bahwa semua kenyataan berasal dari Tuhan (inna lillah) dan akan kembali pada Tuhan (wa inna ilaihi Raji'un). Atau dengan gambar yang lebih linier dari pada siklus, bahwa segala kenyataan berpangkal pada Tuhan dan berujung pada Tuhan. (Hlm. 2-3)

Kedua, ummatan wasathan. Dalam Al Quran dinyatakan bahwa umat Islam adalah umat pertengahan (Al Baqarah: 143). Berada di tengah dapat dicapai dengan berdiri persis di tengah dua gejala yang bertentangan. Misalnya, pilihan antara individu atau negara, maka jawabannya adalah umat Islam berada di tengah-tengah. Kuntowijoyo mengingatkan bahwa berada di tengah bukan menggunakan cara negatif seperti bersikap tidak kapitalisme juga tidak sosialisme.

Ia kemudian mengutip kalimat Dawam Rahardjo, "Islam harus mendayung di antara dua karang." Islam tidak berdasar kemerdekaan mutlak individu atau kekuasaan mutlak negara; ada hak-hak asasi dan kemerdekaan individual, tetapi ada juga hak-hak kolektivitas. (Hlm. 5)

Ketiga, pemihakan. Kaum dhu'afa' (Al Baqarah 266) dan mustadh'afin (An Nisa 75) adalah yang harus dibela. Dalam pemihakan (dan pembelaan) yang mulia terhadap kaum dhu'afa' (orang kecil) dan mustadh'afin (teraniaya), tidak boleh disertai perilaku sebaliknya: Islam melarang semua bentuk ketidakadilan, termasuk kepada orang kaya (aghniya, the have) (Al Kaidah 32). (Hlm. 9-10)

Keempat, iman sebagai kriteria perubahan. Umat Islam menghendaki perubahan. Tapi perubahan yang dimaksud umat Islam tidak sama dengan perubahan milik kaum Marxisme atau perubahan yang dibidani oleh the idea of progress Turgot dan Condorcet dari Barat pada Zaman Pencerahan serta juga teori modernisasi dari Barat yang sekuler. Perubahan yang berkemajuan tidaklah diukur dari sisi luarnya (matrealistik) saja, tetapi lebih kepada aspek bertambahnya iman, wama zadahum illa imana (Al Ahzab). (Hlm. 14)

Begitulah sepiring hidangan dari epistemologi politik, dalam hal ini adalah epistime politik Islam. Sangat kontras dengan epistime politik kaku yang dimiliki Islam pada umumnya, bahkan oleh bangsa yang pertamakali mencuatkan bahasa politik.

Pandangan Kuntowijoyo ini didasarkan pada paradigma Qur'ani. Sebuah cara pandang yang mengedepankan transendensilitas dalam menelaah fenomena sosial. Atau yang disebut oleh M. Syafi'i Anwar dalam pengantar Buku Indentitas Politik Umat Islam sebagai Ilmu Sosial Profetik (ISP).

Referensi:
Kuntowijoyo, 2018. Identitas Politik Umat Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD).

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun