Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Jurnalis - Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Si Pahit Lidah dan Antareja

14 Desember 2009   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:57 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Walaupun tidak bertulang, organ tubuh yang satu ini, sering dilukiskan sebagai sangat berbahaya. Itu antaralain dilukiskan dalam peribahasa ‘ fitnah lebih kejam dari pembunuhan ‘. Setiap agama mengingatkan penganutnya untuk selalu berhati hati menjaga lidah. Dengan mengutip dan mengkaji berbagai ayat Al Qur’an dan Hadist Nabi, Imam AL Gazali mengingatkan bahayanya lidah atau lisan. Dalam khasanah floklore nusantara,masyarakat Sumatera Selatan punya legenda si Pahit Lidah. Berkat anugerah Dewa, apapun yang dikatakan si Pahit Lidah akan mewujud. Kesaktian itu diperolehnya setelah bertapa. Di tepian Danau Ranau, pohon-pohon tebu yang sudah menguning dikutuknya jadi batu. Ia hanya berkata "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Konon, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.

Jika Sumatera Selatan mengenal Si Pahit Lidah, masyarakat Jawa Tengah melalui cerita pewayangan tidak asing dengan Antareja. Salah seorang putra Bima itu punya lidah berbisa. Mematikan. Jangankan badan, seseorang bisa langsung tewas hanya karena dijilat telapak kakinya. Dahsyat. Kedua legenda itumemang bukan tokoh sungguhan, namun dalam kehidupan kita sekarang jangan-jangan telah berkembang sindrom Si Pahit Lidah dan Anteraja.

Bahaya lidah dari Sindrom Si Pahit Lidah dan Antareja itu, jika memang ada, tentu bertingkat tergantung si empunya. Pengidap sindrom si Pahit Lidah dan Antareja ini tentu tidak bisa mengutuk orang menjadi batu atau menjilatnya hingga mati. Ia bisa jadi akan menggunakan lidahnya untuk mempengaruhi, menebar intrik, bersumpah palsu dan mengembangkan isu. Setidaknya yang terkena lidahnya akan menjadi diam seperti batu atau mati karir dan nama baik serta reputasinya, secara perlahan dalam jangka waktu tertentu. Untuk orang awam, berbicara sembarangan paling paling cuma mengakibatkan ketegangan antar tetangga. Atau menjadikan gosip menyebar ke lingkungannya. Berbeda jika yang empunya lidah adalah mereka yang punya kedudukan dan kekuasaan. Dengan kata kata dan kedudukannya, seseorang bisa menggunakan lidahnya untuk merekayasa sebuah gagasan, melontarkan tuduhan. Tujuannya untuk menguatkan kedudukannya dan atau melemahkan posisi lawannya. Akibat sindrom itu muncullahistilah character assasination. Pembunuhan karakter melalui lontaran isu dan penilaian. Para Pahit Lidah dan Antareja ini boleh jadi tidak akan setuju dengan pemikiran Francis Bacon bahwa “ Discretion in speech is more than eloquence ‘, pandai bicara tidaklah cukup, yang lebih diperlukan adalah kebijaksanaan dalam berbicara. Merekapun tidak patuh dengan ajaran agama bahwa menuduh, menghasut, menebar intrik bukanlah perilaku yang baik. Pola berkomunikasi menyalah gunakan kebenaran jangan-jangan sudah dianggap sebagai cara mencapai tujuan. Bagi Pahit Lidah dan Antareja di jaman kita, jika memang ada, jangan-jangan kata kata yang menohok, memprovokasi atau menuduh memang dilontarkan dengan sengaja. Dengannya hendak dipancing reaksi atau respon pihak atau orang yang bersangkutan. Dan dari reaksi dan respon itu pula, akan dapat diukur kekuatan dan kelemahannya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengatasi pengidap sindrom si Pahit Lidah dan Antareja ini. Mungkin kita juga bisa berkaca pada cerita keduanya.

Dalam legenda si Pahit Lidah dan Wayang Antareja, kebijaksanaanlah yang dapat mengubah dan mengakhiri perilaku buruk keduanya. Konon, berkat petunjuk orang bijak, si Pahit Lidah akhirnya mau mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, si Pahit Lidah, memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak bayi. Bagaimana dengan Antareja ?

Menjelang perang besar Barata Yuda yang melibatkan Pandawa dan Astina, Anteraja malah dibunuh lebih dulu oleh Kresna. Kebijaksanaan Kresna akhirnya sampai pada keputusan untuk mengakhiri hidup Antareja. Mengapa ? Dalam peperangan, Antareja bisa membunuh siapa saja baik lawan maupun kawan. Sebab telapak kaki begitu banyak, tumpang tindih, campur baur dan kacau balau. Karena itu Kresna si Maha Bijaksana Titisan Wisnu memutuskan membunuh Antareja. Caranya, dikelabuinya putra Bima itu, sehingga ia menjilat jejak telapak kakinya sendiri. Dan iapun mati.

Mudah mudahan dalam kehidupan kita sekarang ini tidak ada sindrom Si Pahit Lidah dan Antareja yang menjangkiti para petinggi dan pejabat negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun