Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Jurnalis - Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pak Harto dan Usulan Gelar Pahlawan

22 Oktober 2010   09:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:12 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ramai ramai pembicaraan mengenai Pak Harto diusulkan jadi Pahlawan Nasional, membuat saya kembali ingat sosok Pak Harto ( almarhum ).

Harus saya akui dengan tegas bahwa saya adalah orang yang paling sering melaporkan kegiatan pak Harto selaku Presiden melalui siaran pandangan mata berbagai peristiwa yang dihadirinya. Atau membaca berita mengenai kegiatan Pak Harto selaku Presiden. Mengapa ? Sebab. Ketika itu RRI punya kewajiban menyiarkannya. Kegiatan kenegaraan di Istana maupun kegiatan seremoni dan peresmian proyek, wajib hukumnya bagi RRI untuk menyiarkannya. Pun saya pernah meliput kegiatan kunjungan kenegaraan Presiden yang murah senyum ini ke beberapa negara di tiga benua mulai dari Hawai, Mexico, Venezuela, Kepulauan Kanari di Spanyol, berlanjut ke Zimbabwe, Tanzania, dan Senegal. Saya mesti bersyukur dan berterima kasih. Sebab tidak mungkin saya keliling dunia dengan duit sendiri.

Tetapi selain menyiarkan acara kenegaraan dan seremoni peresmian proyek dan kunjungan kerja, saya juga menyiarkan kritik atas beberapa kebijakan pemerintahannya melalui sebuah acara diskusi yang disiarkan langsung dari gedung DPR RI 'Nuansa Demokrasi' yang mengudara setiap Jum'at siang.Salah satu yang masih saya ingat betul adalah ketika membicarakan kebijakan perekonomian dengan menghadirkan antaralain Aberson Marle Sihaloho ( alm ) dari PDI.

Ketika sampai pada gilirannya bicara, Aberson dengan sangat meyakinkan berbicara begini.

“ Ya, kita mesti berterimakasih kepada pak Harto, karena Presiden kita ini sangat konsisten dan konsekwen melaksanakan pasal 33 UUD 45, yang menegaskan bahwa ekonomi kita berlandaskan pada asas kekeluargaan “

Ketika saya sedang heran dengan pernyataan tokoh yang kritis ini, iapun dengan santai melanjutkan “ Iya kan ? Coba kita amati sekarang. Ekonomi kita dilaksanakan atas asas kekeluargaan. Kan hampir setiap kegiatan perekonomian ditangani oleh keluarga Cendana. “ Iapun tertawa. Saya ikut ikutan tertawa getir memahami humor satirnya Aberson. Dan dialog yang menghadirkan pengamat ekonomi, kalau tidak keliru waktu itu adalah Faisal Basripun terus berlanjut. Sayapun menutup dialog ‘live’itu dengan keyakinan bahwa setiba di studio segera saja ditegur Direktur Radio karena telah melaksanakan dialog yang mengandung kritik ‘yang membahayakan itu’. Nuansa Demokrasi itu kami selenggarakan jauh hari sebelum gerakan reformasi, ketika Orde Baru dan Pak Harto masih kokoh berkuasa.

Jadi, sebagai wartawan saya telah melaksanakan tugas jurnalistik secara cukup berimbang yaitu melaporkan keberhasilannya dan mengkritisi kebijakannya. Itu di Jaman Orde Baru lho, ketika kritik diharamkan dan merupakan barang sangat langka.

Lantas dengan begitu bagaimana pandangan saya atas polemik pemberian gelar kepahlawanan nasional yang akan dianugerahkan kepada almarhum ?

Yang saya tahu, ketika menjabat sebagai Presiden, atas inisiatif pak Harmoko - yang selalu melakukan penjelasan atas petunjuk bapak Presiden - Pak Harto mendapat julukan atau gelar Bapak Pembangunan. Dan rupanya, gelar itu masih melekat, setidaknya untuk orang orang di kampung saya di Kebumen sana. Beberapa orang tua masih saja meyakini bahwa di jaman Pak Harto pembangunan berhasil baik. Sandang, pangan kecukupan. Jalan desa yang tadinya tak pernah dirambah aspal berubah jadi licin. Lampu teplokpun berangsung berubah jadi bola lampu listrik. Pokoknya mereka tetap yakin, di bawah Pak Harto ekonomi berkembang baik.

Pandangan orang di kampung saya tentu beda dengan pandangan orang orang yang sangat merasa sangat tertekan dan tertindas oleh rejim ketika itu. Atau mereka yang merasakan kedzaliman yang mengatas namakan stabilitas nasional.

Dalam perspektif itulah saya dapat memahami pro kontra rencana penganugerahan gelar kepahlawanannya. Lantas bagaimana pendapat saya ?

Kalau ditanya, saya akan menjawab begini. Untuk apalah mendapatkan gelar, jika bersamaan dengan itu banyak orang yang kembali mengecam dan mengungkapkan keburukan dengan gencar. Dalam falsafah Jawa, terhadap orang tua berlaku ujaran ‘ Mikul Duwur Mendem Jero’. Artinya mengangkat kehormatannya dan membuat bahagia di alam kuburnya. Pemberian gelar kepahlawanan kepada almarhum mungkin dimaksudkan untuk ‘mikul duwur’, tetapi bukan berarti ‘mendem jero’. Dalam istilah lain, pemberian gelar kepahlawanan yang membuat banyak orang akan mengungkit ungkit keburukan almarhum bisa juga diibaratkan dengan ujaran ‘ ngontek ontek maesan’ atau menggoyang goyang nisan. Jangan jangan arwah yang tadinya sudah nyaman dialamnya, bakal tidak menjadi nyaman ketika banyak orang mengungkap kejelekannya, walau tidak benar sekalipun.

Jadi, kalau saya jadi putra atau putrinya beliau, saya akan dengan tegas menolak upaya pemberian gelar itu, sekarang. Saya lebih suka membuat arwah beliau ‘ sumareh’ atau tidur di alam barzah dengan damai.

Suatu kali jika Gusti Allah sudah menghendaki ngijabahi, gelar dan kemuliaan itu akan kembali merebak bersemi di bumi pertiwi. Tetapi kalau memang tidak, ya sudah ikhlas sajalah.

Tetapi gelar itu kan penting sebagai pengakuan keberhasilan dan penghormatan atas segala jasa jasa yang sudah dilakukan ?

Akh apalah artinya gelar yang diberikan manusia.Bisa bisa cuma sekedar lips service dan komoditas politik belaka.

Salam

Kabul Budiono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun