Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Jurnalis - Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meninggal Dunia Saat Berhaji....

19 November 2010   09:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:28 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12901604432013622652

Ketika sedang menyaksikan pemotongan hewan kurban di mesjid komplek perumahan kami, saya mendengar kabar bahwa seorang tetangga yang menunaikan ibadah haji, meninggal dunia di tanah suci. Sembari mengucap innalillahi wa inna ilaihi raji’un, sayapun membayangkan betapa mulia tetangga kami itu. Meninggal ketika sedang melaksanakan ibadah haji di tanah suci, setelah wuquf di Arafah dalam perjalanan ke Mina. Subhanallah. Ia kembali ke haribaan Illahi ketika ia masih menggunakan ihram, tidak lama setelah berdoa pada puncak ibadah haji yaitu wuquf. Bukankah wuquf di Arafah adalah intinya haji sebagaimana sabda Nabi ‘alhajju arrafatu.

Bagi banyak muslim, terutama yang sudah berusia lanjut meninggal di tanah suci sering menjadi idaman. Ungkapan harapan itu tidak sedikit yang saya dengar ketika lebih sepuluh tahun lalu saya mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji. Bagi sebagian orang – boleh jadi sebagian besar di antaranya – meninggal dunia di tanah suci sungguh sangat mulia dan menjadi impian sejak lama. Ini antaralain saya dengar dari salah seorang laki laki tua yang ketemu saya di Madinah sebut saja namanya pak Harjo.

Saya ketemu pak tua itu secara tidak sengaja di Madinah, tepatnya di kator daerah kerja haji di Madinah. Selama sekitar dua minggu saya tinggal di salah satu kamar di kantor haji itu dalam kapasitas saya sebagai reporter RRI yang meliput haji dan difasilitasi Departemen Agama. Pak Harjo menempati kamar di depan saya dengan jemaah lainnya. Berbeda dengan saya, pak Harjo tinggal sementara di situ karena sakit. Ia ditinggal oleh rombongannya yang mesti berangkat melanjutkan perjalanan ke Mekah.

“ Kulo niki kudu sabar nak “, demikian ia memulai ceritanya dalam obrolan pagi setelah sarapan pagi. “Kulo rasane nggih boten lara. Ning kedah nengga riyin teng ngriki. Nggih boten napa napa. Pancen kula niki kudu sabar “ Ia merasa tidak sakit tetapi mesti tinggal dulu di Medinah dan harus bersabar. Pak Harjo kemudian bercerita bahwa dia berasal dari Warung Boto, sebuah kelurahan di wilayah Yogyakarta. Tidak jauh dari Kebon Binatang Gembiro loka. Ia sudah memberikan sebagian tanahnya untuk dibangun mushola. Sebagian lainnya sudah dibagi pada anak anaknya. Istrinya sudah meninggal dunia. Sebagian lainnya ia gunakan untuk biaya naik haji. Jadi ia sudah sangat ikhlas dan berbahagia kalau meninggal di tanah suci. Yang penting sudah sampai di Ka’bah dan berhaji di Arafah, demikian ia sering mengulangi kata kata itu kepada saya. Tibalah saatnya saya berpindah tugas ke Mekah. Sedangkan pak Harjo masih saja harus menunggu di Madinah. Saya tidak tahu mengapa ia tidak juga diberangkatkan ke Mekah. Menurut pertugas haji Pak Harjo akan diberangkatkan ke Mekah bersama jemaah haji lain yang menderita sakit. Menurut pandangan saya Pak Harjo tidaklah sakit. Ia biasa saja. Hanya akhir akhir ini ia semakin banyak bercerita. Dengan perasaan haru kamipun berpisah. Kesibukan saya selama di Mekah tidak sempat lagi memikirkan bagaimana keadaan pak Harjo. Saya baru ingat lagi orang tua itu beberapa hari setelah wukuf dan kembali ke pemondokan haji di Mekah. Saya bertemu seorang teman yang bertugas di Daker Madinah dan menanyakan keadaan pak Harjo. Jawabannya cukup mengharu biru perasaan saya. Menurut teman saya itu Pak Harjo meninggal dunia di Mekah sebelum ia sempat berkunjung ke Ka’bah. Iapun belum sempat wukuf di Arafah.

Tetangga saya yang meninggal dunia musim haji ini keadaannya berbeda dengan pak Harjo. Ia masih cukup muda dan punya anak anak yang sedang tumbuh remaja dan menunggu kepulangannya di rumah. Iapun berhaji bersama istrinya. Berbeda dengan pak Harjo, tetangga saya itu sudah tawaf dan wukuf di Arafah. Iapun tidak pernah berucap ingin meninggal di tanah suci. Melalui sms yang dikirimkan ke seorang tetangga kami – dan saya sempat membacanya – ia memohon doa agar diberikan kesehatan sehingga dapat melaksanakan wukuf dengan baik........

Salam

M Kabul Budiono

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun