Akhir akhir ini muncul banyak komentar mengenai posisi media massa. Untuk televisi misalnya, tidak sedikit yang meyakini bahwa TVone dan Metro TV sudah menjadi partisan. MNC grup juga dianggap demikian. Pro Kontra mengenai posisi media muncul deras khususnya di jejaring sosial dan blog baik sosial maupun pribadi. Seberapa banyak. Rasanya penilaian itu sebagian juga bersifat apriori dengan dasar bahwa pemilik media massa televisi itu adalah pimpinan parpol yang menjadi pendukung salah satu Capres dan Cawapres. Sesungguhnya penilaian terhadap konten secara obyektif baru diakui kesahihannya dengan riset analisis konten dan framing ( pembingkaian ) atau menganalisa acara acara tertentu baik opini maupun diskusi. Sikap apriori itu juga terjadi dalam menilai media online.
JPNN dan koran onlinenya dilabeli sebagai medianya Dahlan Iskan. ROL atau Republika online dikaitkan dengan partai partai pendukung Prabowo Hatta. Tribun News, Kompas.com dilabeli 'very Jokowi'. Pertanyaannya . Benarkah demikian ?
Dalam setiap kesempatan para pemimpin redaksi setiap media massa milik swasta senantiasa berdalih bahwa mereka tetap dalam posisi sebagai jurnalis yang melaksanakan tugas sesuai kaidah jusnalistik yang independen dan obyektif. Ya itu memang semestinya begitu. Dalam organisasi media dikenal adanya pemimpim umum dan pemimpin redaksi. Hal ikhwal pemberitaan biasanya menjadi tanggung jawab pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana yang membawahi desk editor. Kebijakan redaksional ( editorial policy ) dijalankan di sini. Namun kebijakan redaksional juga bisa menjadi kewenangan pemimpin umum. Dalam rapat agenda setting berkala kebijakan redaksional ditetapkan. Pemilu adalah event yang penting dan selalu menjadi perhatian rapat kebijakan redaksi. Sajian akhir yang dibaca dan ditonton atau didengar adalah hasil dari proses redaksional. Lantas, jika semua media massa tetap mengklaim melaksanakan jurnalisme yang independen dan berimbang bagaimana cara kita mencium praktek sesungguhnya ?
Saya mencoba memahami berita antaralain melalui penggunaan kalimat pembuka berita, narasumber yang dipilih dan kecenderungan arah berita.
Ada yang suka membuat ungkapan hiperbola atau generalisasi. Misalnya ungkapan mengenai jumlah. Kata sifat dan penjumlahan bisa menandai sikap media bersangkutan. Misalnya " Ratusan purnawirawan TNI mendukung Capres Anu ". Ratusan adalah kata yang lebih mengandung opini. Faktanya dalam berita itu seorang narasumber yang adalah Jenderal Purnawirawan TNI dikutip mengatakan " Kami 170 purnawirawan Jenderal TNI dan POLRI siap bekerja keras memenangkan......... "170 belum termasuk ratusan. Ratusan berarti beratus ratus.
Pemihakan juga dapat dirasakan dari penggunaan kata sifat yang digunakan dalam kalimat pembuka ( lead berita ). Kata kata itu misalnya " semakin, akhirnya, kembali ". Contohnya " Semakin banyak kelompok masyarakat yang mendukung pasangan Jokowi JK/Prabowo Hatta". "Akhirnya tokoh masyarakat ...... mendukung ....... Dengan demikian bertambahlah kalangan cendekiawan yang berjuang untuk..... ". Atau " Bapak Anu menyatakan mundur dari tim sukses pasangan Jokowi JK atau Prabowo Hatta.
Pemihakan dapat dirasakan pada kalimat awal yang berbau opini. Suatu berita lempang ( straight news ) sesungguhnya berbeda dengan opini.
Kemudian cara yang sederhana untuk mengetahui pemihakan adalah dengan melihat headline ( judul judul beritanya ). Di situ akan ada perbandingan dalam jumlah. Banyakan mana. Apakah Jokowi JK atau Prabowo Hatta. Di laman jejaring sosial, biasanya seorang facebooker pendukung salah seorang capres cawapres akan men shared berita yang berisi dukungan pafa capres cawapres idolanya.
Di laman media massa online pemihakan juga dapat dilihat dari perform gambar baik berita gambar atau gambar yang menjadi pelengkap berita. Dengan memperhataikan lebih banyak/sedikit, di mana dan bagaimana si tokoh ditampilkan, dapat mencium pemihakan media bersangkutan.
Jadi ? Be a smart reader, be a smart voter....
Begitu barangkali. Anda yang lebih ahli dalam jurnalistik tentu dapat memberikan gambaran lebih jelas.