Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Jurnalis - Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Topeng Monyet dan Kita

16 Desember 2009   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:55 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_38486" align="alignleft" width="58" caption="(citizenimages.kompas.com)"][/caption] Topeng Monyet rasanya telah menjadi bagian dari kehidupan kita, di desa maupun di kota. Ungkapan ‘ Sarimin pergi ke pasar’, sudah jadi ‘trade mark’ pertunjukan sangat sederhana itu. Perintah atau petunjuk untuk si monyet itu sudah saya kenal sejak masih anak-anak di desa dan masih saya dengar ketika usia saya sudah memasuki separuh abad dan tinggal di Jakarta. Perubahan yang terjadi adalah, jika tadinya para Sarimin digendong atau digelandang masuk kampung dan gang-gang, sekarang ‘para aktor’ itu dipertunjukkan di pinggir jalan yang sering macet atau pada perempatan jalan kota besar Jakarta, tak jauh dari lampu pengatur lalu lintas.

Saya sering kasihan pada binatang tak berdaya itu. Dengan rantai yang menjerat leher atau pinggangnya, binatang tak berdosa itu mesti mondar mandir, berjumpalitan sesuai kehendak juragannya. Hasil jerih payahnya itupun tak pernah dikantonginya. Untung para monyet memang nggak kenal rupiah, sehingga mereka tak protes. Dan ketika ada orang yang memberikan recehan untuk pertunjukan pinggir jalan itu, saya tidak tahu apakah karena kasihan sama monyetnya atau bersimpati pada juragan monyetnya.

Di Jakarta, sering topeng monyet benar-benar menjadi istilah yang sangat tepat. Mengapa ? Karena monyet monyet itu sering sungguh sungguh diberi topeng. Ada yang menggunakan muka boneka yang disobek atau,jika pemiliknya lebih kreatif, berbentuk wakjah reog dalam ukurannya yang kecil. Yang pasti saya belum pernah menemukan ada juragan para topeng monyet yang kreatif membuat topeng wajah para koruptor untuk dipakai para monyet.

Topeng monyet , demikian saya baca di kamus online Wikipedia, adalah  kesenian tradisional yang  tidak hanya dikenal di berbagai daerah di negara kita. Pertunjukan topeng monyet juga dapat dijumpai di IndiaPakistanThailand,VietnamCinaJepang, dan Korea. Di manapun kesenian ini berada, sang monyet selalu dilatih menirukan berbagai kegiatan manusia, salah satunya ya ‘ Sarimin pergi ke pasar itu’. Di kampung saya topeng monyet disebut dengan ‘ ketek ogleng’. Boleh jadi karena si ketek ( monyet ) berjalan ‘ oglang agleng’ ( sempoyongan ) sesuai perintah sang juragan atau pawang. Jenis monyet yang biasa digunakan di Indonesia dari spesies Macaca Fascicularis atau biasa disebut juga "crab eating monkey" atau "long tailed monkey", memang bukanlah termasuk makhluk yang ditakdirkan berjalan dengan dua kakinya. Hanya karenakeahlian pawanglah, para monyet itu akhirnya bisa diajari berakting sesuai instruksi yang diberikan. Tentu aktingnya itu bukan karena si monyet bisa berfikir, melainkan karena kebiasaan. Itu barangkali yang membedakan antara juragan dan si monyet. Melihat kenyataan itu, sayapun jadi merenung.

Jangan jangan di dunia kita yang mestinya berperikemanusiaan dan berkeadabanini, masih ada yang seringkali melatih dan menyuruh seseorang agarmelakukan sesuatu tanpa harus berfikir.Dalamkapasitas sebagai Boss, di bidang apapun dengan otoritasnya memerintahkan “ Pokoknya, laksanakan ! Teruskan ! Nggak usah nanya !. Kerjakan saja !” Kalau untung maka duitnya, masuk kantong Boss. Wah jangan jangan, masih ada yang sering membuat staf ( subordinate ) sebagaimana layaknya ‘topeng monyet’. Celakanya, kalau monyet sungguhan nggak pernah dimaki, maka bawahan sering diteriakin ‘ monyet lu”, atau dengan makian lain.

Dalam berpolitikpun, jangan jangan praktek ala topeng monyet juga dilakukan. Pimpinan Partai Politik melalui fraksi di Parlemen mengendalikan anggotanya melakukan gerakan politik tertentu. Nggak ada diskusi dan penjelasan mengapa manuver mesti dilakukan. Pokoknya laksanakan. Dan ketika melaksanakan perintah. diajarilah anggota partai itu beraksi.Agar menarik dikenakanlah topeng sehingga tidak lagi menampakkan wajah yang sesungguhnya. Scenario diatur. Si Fulan mesti pura pura galak. Si Fulanah melontarkan pernyataan yang menyudutkan lawan politik.Jika reaksi datang , dibuatlah scenario B, di mana si Badu segera melakukan klarifikasi. Sebagaimana layaknya pertunjukkan topeng monyet maka dibuatlah scenario sehingga publik penonton terhibur. Emosinya tersalurkan. Jika ternyata scenario gagal si Fulan, si Fulanah dan si Badu gampang saja di copot diganti dengan yang lain yang lebih bisa berakting. Kalau berhasil ? Cukuplah dapat pujian dari penonton. Naik peringkat di daerah pemilihannya.

Mudah mudahan Topeng Monyet hanyalah sebuah pertunjukan rakyat kecil mencari nafkah, dan tidak dicerminkan dalam realitas sosial, politik, dan kehidupan kita. Cukuplah monyet betulan yang menderita.Janganlah ada yang menggunakan kedudukan dan kewenangannya untuk menopeng monyetkan bawahannya.

Tetapi, bagaimana kalau konspirasi dan teori topeng monyet itu memang terjadi di negeri ini ? Yang pasti saya berharap, saya, dan teman teman saya tidak memainkannya.

Wallahu a’lam bissawab.

Salam hangat

M Kabul Budiono.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun